BATAM – Rangkaian kasus tenaga kerja asing (TKA) ilegal di Batam sepanjang 2025 membuka fakta lemahnya pengawasan izin dan dugaan praktik penyalahgunaan kewenangan. Dari operasi gabungan hingga penangkapan kriminal, pola pelanggaran yang berulang mengindikasikan masalah struktural dalam sistem perizinan.
Kasus mencuat sejak Maret 2025 ketika Ditjen Imigrasi bersama BKPM melaksanakan operasi “Wira Waspada”. Dari hasil pengawasan, 13 warga negara asing diamankan dari 12 perusahaan penanaman modal asing yang diduga fiktif. Temuan itu menunjukkan celah regulasi dapat dimanfaatkan untuk memasukkan pekerja asing tanpa prosedur sah.
Kemudian, pada Agustus 2025, Kantor Imigrasi Kelas I A Batam menindak TKA di PT New Way Powerindo. Mereka diduga tidak memiliki dokumen resmi Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Padahal, regulasi mengharuskan setiap perusahaan yang mempekerjakan TKA menyusun RPTKA dan mendapat persetujuan Kementerian Ketenagakerjaan.
Selain itu, sorotan juga tertuju pada proyek besar di kawasan Opus Bay. Kehadiran pekerja asing tanpa dokumen lengkap di proyek strategis menimbulkan kritik. Warga menilai lemahnya pengawasan lintas instansi menjadi penyebab praktik ini tetap berulang meski operasi terus dilakukan.
Sementara itu, kasus berbeda namun berkaitan muncul di sektor hiburan malam. Pada pertengahan tahun, insiden pengeroyokan di First Club Batam mengungkap keberadaan pekerja asing asal Vietnam. Mereka diduga bekerja tanpa izin resmi, menambah daftar panjang pelanggaran di sektor non-formal.
Tidak hanya itu, pada September 2025 Polresta Barelang membongkar praktik penipuan hipnotis yang melibatkan dua warga negara Tiongkok bersama empat warga lokal. Modus tersebut menyasar lansia dengan kerugian mencapai Rp127 juta. Fakta ini memperlihatkan sebagian TKA masuk ke Indonesia bukan untuk bekerja sesuai izin, melainkan melakukan tindak kriminal.
Kasat Reskrim Polresta Barelang, Kompol M. Debby Tri Andrestian, menjelaskan peran para tersangka terstruktur. “Ada yang menjadi pimpinan, penerjemah, koordinator, hingga sopir. Sasaran mereka adalah lansia keturunan Tionghoa yang mudah dipengaruhi sugesti,” katanya.
Berbagai kasus ini memperlihatkan pola yang sama: lemahnya verifikasi perusahaan penerima TKA, longgarnya kontrol atas dokumen, dan minimnya koordinasi antar-lembaga. Bahkan, indikasi praktik pemerasan turut muncul dalam proses penerbitan izin RPTKA, sehingga memperburuk tata kelola.
Pakar hukum ketenagakerjaan menilai praktik tersebut jelas melanggar Pasal 42 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Regulasi tersebut mewajibkan setiap pemberi kerja TKA memiliki RPTKA yang disahkan pemerintah. Selain itu, Pasal 122 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian mengancam deportasi bagi WNA yang bekerja tanpa izin.
Meski aturan hukum sudah jelas, pelanggaran tetap terjadi berulang. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas lembaga pengawas. Sebab, tanpa pengawasan ketat, peluang kerja bagi tenaga lokal terancam dan potensi kerugian negara semakin besar.
Dari perspektif publik, kehadiran TKA ilegal juga menimbulkan keresahan sosial. Di satu sisi, warga melihat investasi asing sebagai peluang. Namun di sisi lain, praktik perusahaan fiktif dan lemahnya kontrol justru mengurangi kepercayaan terhadap pemerintah.
Situasi ini menegaskan perlunya evaluasi mendalam terhadap mekanisme pengawasan lintas instansi, mulai dari Imigrasi, Disnaker, hingga aparat penegak hukum. Tanpa itu, Batam akan terus menjadi pintu masuk praktik pelanggaran yang merugikan negara dan masyarakat.
Media masih berupaya mengonfirmasi pihak terkait.



