Sabtu, 27 Desember 2025
No Result
View All Result
  • Batam
  • Kepri
  • Nasional
  • Eksklusif
  • Feature
  • Kriminal
  • Politik
  • Sejarah
  • Olahraga
  • Entertainment
  • Opini
Kontainer yang mengangkut limbah elektronik asal Amerika yang disegel KLH dan Bea Cukai di TPK Batu Ampar. (Foto: Humas BC Batam).

‎Beracun dan Terlupakan: Nasib Limbah Elektronik Ilegal AS yang Tertahan di Batam

27 Desember 2025
hms hms
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsApp

‎BATAM – Empat puluh kontainer limbah elektronik (e–waste) asal Amerika Serikat dari delapan ratus lebih yang terparkir di Terminal Peti Kemas Batu Ampar dalam beberapa hari ini direncanakan dikembalikan ke negara asalnya. Namun, proses re-ekspor yang digadang-gadang sebagai solusi justru menyimpan sejumlah pertanyaan, mengungkap celah sistemik dalam pengawasan impor limbah berbahaya di kawasan bebas pajak ini.

Sejumlah kontainer yang terparkir di TPK Batu Ampar. (Foto: Yogi Eka Saputra).

‎Penelusuran HMS mengonfirmasi bahwa empat puluh kontainer tersebut milik dua dari tiga perusahaan importir yang tersandung kasus ini: PT Esun Internasional Utama Indonesia (19 kontainer) dan PT Logam Internasional Jaya (21 kontainer). Keduanya telah mengajukan permohonan re-ekspor ke Bea Cukai Batam. Sementara itu, PT Batam Battery Recycle Industries, importir ketiga, hingga kini belum mengajukan proses serupa.

Pabrik PT Esun Internasional Utama Indonesia di Horizon Industrial Park, Sagulung. (Foto: Yogi Eka Saputra).

‎Seorang sumber internal di lingkungan Bea Cukai Batam yang meminta diawanamakan, menyatakan proses pengembalian akan dilakukan bertahap.
‎
‎”Alhamdulillah. Minggu ini perusahaan-perusahaan tersebut sudah mulai mengajukan re-ekspor. Sehingga limbah B3 tidak beroperasi lagi di Batam,” ujarnya pada Rabu, 24 Desember 2025. Alasan bertahapnya proses ini, menurutnya, adalah keterbatasan slot kapal.
‎
‎Sumber tersebut juga membeberkan mekanisme re-ekspor yang terdiri dari enam tahap, mulai dari pengajuan perusahaan, persetujuan Bea Cukai, pembukaan blokir sementara oleh BP Batam, hingga pemuatan ke kapal. Namun, ketika ditanya mengenai identitas agen pelayaran atau transporter yang membawa limbah ilegal ini masuk ke Batam, terjadi silang informasi antar-institusi.
‎
‎Direktur Pelayanan Lalu Lintas Barang BP Batam, Rully Syah Rizal, dalam jawaban tertulisnya, mengalihkan pertanyaan ke Bea Cukai dan operator pelabuhan. Sementara Humas Bea Cukai Batam, Mujiono, mengaku belum memiliki informasi. Sumber internal Bea Cukai tadi justru menyatakan bahwa pihaknya tidak mengetahui langsung agen pelayaran karena proses re-ekspor “Diurus langsung oleh pihak perusahaan,” katanya.
‎
‎Ironisnya, di tengah proses pengembalian, ketiga perusahaan importir tersebut telah dibekukan izin operasionalnya oleh BP Batam sebagai bentuk sanksi. Namun, ketika ditanya detail waktu pembekuan, Rully Syah Rizal tidak merespons.
‎
‎Dampak Sosial dan Aparat yang “Tidak Tahu”
‎
‎Dampak kasus ini mulai merembet ke persoalan ketenagakerjaan. Informasi yang kami peroleh dari sesama rekan jurnalis, menyebut bahwa ribuan karyawan PT Esun Internasional melakukan unjuk rasa menuntut hak atas rencana PHK massal, 24 Desember pagi.
‎
‎Namun, Kepala UPT Pengawas Ketenagakerjaan Disnakertrans Kepri, Aldy Admiral, mengaku belum menerima informasi tersebut karena sedang berada di Tanjungpinang. “Izin, belum ter-info [demo]. Karena kami masih di Tanjungpinang dalam proses penetapan UMP [Upah Minimum Provinsi] oleh Gubernur,” jawabnya.
‎
‎Upaya konfirmasi ke PT Persero Batam selaku induk operator pelabuhan juga berujung buntu. Humas perusahaan mengarahkan pertanyaan ke PT Batam Terminal Petikemas (BTP) dengan alihan kewenangan berdasarkan novasi perjanjian.

Kantor PT Persero Batam, Batu Ampar. (Foto: Muhammad Shafix)

Celah Regulasi dan Indikasi Penyalahgunaan
‎
‎Tokoh masyarakat dan aktivis lingkungan di Batam menilai kasus ini adalah buah dari lemahnya pengawasan dan potensi penyalahgunaan kewenangan. Osman Hasyim, Ketua Forum Masyarakat Peduli Batam Maju, dalam pertemuan 9 Desember 2025, secara tegas mempertanyakan bagaimana ratusan kontainer limbah bisa masuk, awalnya dari 74 unit menjadi hampir ribuan.
‎
‎”Kok bisa dia [BP Batam] mengeluarkan rekomendasi sebanyak itu? Tidak boleh itu barang elektronik atau barang bekas masuk dan diperjualbelikan,” tegas Osman. Ia mengkhawatirkan kewenangan besar BP Batam pasca diterbitkannya PP No. 25 Tahun 2025 justru menciptakan ketidakpastian hukum.

Berita Lain

Terowongan Silaturahim Masjid Istiqlal – Gereja Katedral Dibuka Khusus Perayaan Natal

Dorong Kebijakan Subtitusi LPG 3kg, BP Batam Dukung Kebijakan Jargas di Kota Batam

Wakil Kepala BP Batam Raih Penghargaan Perempuan Inspiratif dan Wonder Mom Awards 2025

‎Tanggapan PN Batam Soal Hakim HS Yang Dipecat Tidak Hormat Atas Kasus Perselingkuhan

Ketua Forum Masyarakat Peduli Batam Maju, Osman Hasyim. (Foto: Muhammad Shafix).

Azhari Hamid, aktivis lingkungan Batam, lebih spesifik mencurigai adanya permainan Harmonized System (HS) Code. “HS Code-nya bukan barang itu. Tapi, pakai HS Code barang lain,” ujarnya pada 19 November 2025. Modus ini memungkinkan barang terlarang masuk dengan mulus. Menurut Azhari, praktik semacam ini bisa masuk dalam ranah penyalahgunaan kewenangan dan korupsi. “Bisa. Penyalahgunaan kewenangan. Bisa korupsi, lho,” katanya, meski menyayangkan sulitnya mencari pihak yang memiliki legal standing untuk melaporkan ke KPK.
‎
‎Publik masih menanti kejelasan hasil penyidikan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Sejak dua bulan lalu [penyegelan 74 kontainer] satu-satunya tindakan formal yang terbit dari Deputi Bidang Penegakan Hukum KLH adalah berupa surat nomor: P.223/I/GKM.2.1/12/2025 yang dikeluarkan, Irjen Pol Rizal Irawan.
‎
‎Surat itu hanya memuat perintah re-ekspor barang, namun tak menjelaskan soal status hukum ketiga importir yang diduga kuat melanggar hukum itu. Respons penegak hukum dinilai lamban dan tidak transparan. Hal ini memunculkan tanda tanya besar atas keseriusan penegakan hukum di tengah maraknya praktik impor limbah berbahaya ilegal.
‎
‎Upaya konfirmasi langsung ke pejabat terkait juga menemui jalan buntu. Pada 10 Desember 2025, sejumlah pertanyaan telah dikirimkan via pesan singkat ke Irjen Pol Rizal Irawan. Hingga berita ini diterbitkan, tidak ada respons yang diterima. Jawaban jika ada akan dimuat dalam laporan lanjutan.
‎
‎Laporan Internasional: “Broker Tercela” dan Pelanggaran Konvensi Basel
‎
‎Penelusuran kami ini sejalan dengan laporan organisasi lingkungan internasional. Basel Action Network (BAN), bersama Nexus3 dan Ecoton, dalam siaran pers 16 Desember 2025, mengungkap bahwa PT Esun Internasional Utama Indonesia dioperasikan oleh perusahaan Wai Mei Dat/Corporate eWaste Solutions (CEWs).
‎
‎Perusahaan eksportir AS ini tercantum dalam daftar “10 Broker Tercela” (Brokers of Shame) dalam laporan investigasi terbaru. CEWs disebut menggunakan fasilitas bersertifikat di AS untuk menyalurkan limbah elektronik ke Batam. Yang mengejutkan, sepuluh hari sebelum rilis ini terbit, CEWs justru mengumumkan keberhasilannya lulus audit surveilans standar R2 [Responsible Recycling] yang diumumkan di LinkedIn mereka.
‎
‎Jim Puckett dari BAN menyatakan kekhawatiran mendalam. “Sungguh mengejutkan bahwa PT Esun diizinkan mengimpor limbah yang dikendalikan seperti ini dari Amerika Serikat, dan dalam jangka waktu yang begitu lama,” katanya. Menurut BAN, impor ini jelas melanggar Konvensi Basel, karena AS bukan negara Pihak Basel, sehingga perdagangan limbah terkontrol seperti e-waste dengan Indonesia adalah ilegal.
‎
‎Upaya penutupan pabrik PT Esun oleh Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq pada akhir September 2025 pun gagal setelah dijegal massa di pintu masuk pabrik. “Membiarkan perusahaan pelanggar hukum sangat menjengkelkan dan menyedihkan,” kata Yuyun Ismawati dari Nexus3 Foundation.

Pintu masuk TPK Batu Ampar. (Foto: Muhammad Shafix).

‎Rekomendasi Hukum dan Tuntutan Keterbukaan
‎
‎Koalisi NGO internasional itu memberikan rekomendasi tegas:
‎
‎1. Limbah harus dipulangkan ke AS berdasarkan Pasal 9 Konvensi Basel, dengan biaya ditanggung importir dan perusahaan pelayaran.
‎
‎2. Importir dan pihak terkait harus dituntut pidana karena terlibat perdagangan ilegal yang dianggap tindak pidana menurut Basel.
‎
‎3. Perusahaan pelayaran harus bertanggung jawab dan membayar biaya demurrage serta pemulangan.
‎
‎4. Seluruh proses dan nomor kontainer yang dikembalikan harus diumumkan ke publik untuk mencegah pengalihan ke negara ketiga.
‎
‎5. Pemerintah AS didesak meratifikasi Konvensi Basel dan menuntut eksportir yang terlibat.
‎
‎Proses re-ekspor empat puluh kontainer limbah ini bukanlah akhir cerita. Ia adalah babak pembuka dari sebuah skandal lingkungan yang mengekspos kerapuhan sistem pengawasan, potensi kolusi, dan ancaman serius terhadap kesehatan lingkungan dan masyarakat Batam. Investigasi mendalam dan penegakan hukum yang transparan mutlak diperlukan untuk memastikan kasus serupa tidak terulang dan para pelaku dapat diadili.

Berita Lain

Kepala BP Batam, Amsakar Achmad. (Foto: Humas BP).

Dorong Kebijakan Subtitusi LPG 3kg, BP Batam Dukung Kebijakan Jargas di Kota Batam

24 Desember 2025
Wakil Kepala BP Batam, Li Claudia Chandra dapat penghargaan dari Meto TV. (Foto: Humas BP).

Wakil Kepala BP Batam Raih Penghargaan Perempuan Inspiratif dan Wonder Mom Awards 2025

23 Desember 2025

IKLAN

Kalau Anda wartawan, tulislah sesuatu yang bernilai untuk dibaca. Kalau Anda bukan wartawan, kerjakanlah sesuatu yang bernilai untuk ditulis.

  • Tentang HMS
  • Redaksi
  • Perusahaan
  • Alamat
  • Pedoman

© 2020 HMStimes.com - Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman HMS

No Result
View All Result
  • Batam
  • Kepri
  • Sumatra Utara
  • Feature
  • Eksklusif
  • Lowongan Wartawan
  • Kode Perilaku HMS

© 2020 HMStimes.com - Dilarang mengutip dan menyadur teks serta memakai foto dari laman HMS