BATAM – Kematian seorang anak berusia 12 tahun berinisial AOK pada Minggu, 15 Juni 2025, yang diduga tidak mendapat perawatan optimal di RSUD Embung Fatimah, Kota Batam, memicu reaksi dari berbagai pihak. Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Batam, Surya Makmur Nasution, menegaskan akan memanggil manajemen RSUD Embung Fatimah dan BPJS Kesehatan Kota Batam untuk meminta klarifikasi atas kejadian memilukan tersebut.
“Ini adalah tragedi kemanusiaan yang tidak bisa dibiarkan berulang. Seorang anak membutuhkan pertolongan medis, namun terhambat oleh persoalan prosedur dan sistem pelayanan, hingga akhirnya meninggal dunia,” ujar Surya di Batam, Senin, 16 Juni 2025.
Ia menekankan bahwa Pemerintah Kota Batam memiliki tanggung jawab untuk menjamin setiap warga ber-KTP Batam mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.
Menurut Surya, apabila benar kematian AOK disebabkan oleh kendala administratif, maka ini menandakan adanya masalah serius dalam sistem pelayanan rumah sakit, khususnya di Instalasi Gawat Darurat. Ia meminta dilakukan perbaikan menyeluruh terhadap sistem dan tata kelola pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah.
“RSUD bertanggung jawab atas layanan medis, BPJS bertanggung jawab pada sisi pembiayaan. Dinas Kesehatan wajib memastikan bahwa semua pelayanan berjalan sesuai ketentuan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa prinsip tertinggi dalam pelayanan publik adalah penyelamatan nyawa manusia. “Salus populi suprema lex esto – keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Dalam situasi darurat, prosedur administrasi tidak boleh menghambat pertolongan nyawa,” tegasnya lagi.
Sebagai bentuk tanggung jawab institusional, Surya juga mendorong Pemerintah Kota Batam untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap budaya kerja dan manajemen pelayanan di RSUD Embung Fatimah, agar aspek kemanusiaan lebih diutamakan dalam setiap layanan kesehatan.
Kasus ini menjadi sorotan publik setelah unggahan di media sosial menyebut seorang pasien anak ditolak oleh RSUD karena menggunakan BPJS dan dinilai tidak dalam kondisi gawat darurat.
Suprapto AK, yang pertama kali mengunggah informasi tersebut di Facebook, mengungkap bahwa AOK sempat dibawa ke IGD RSUD Embung Fatimah, namun tidak mendapatkan perawatan penuh karena status kepesertaannya di BPJS. Menurutnya, rumah sakit hanya melakukan penanganan awal, dan setelah itu pasien dipulangkan karena dianggap tidak memenuhi syarat kegawatdaruratan.
“Anak itu sudah sesak napas saat tiba di IGD, tapi tidak ada perubahan kondisi. Karena tidak bisa dirawat akibat kendala BPJS, akhirnya dibawa pulang, dan tidak lama kemudian meninggal dunia,” jelas Suprapto.
Ia juga mengkritik kebijakan BPJS yang dianggap menyulitkan masyarakat, terutama dalam situasi darurat. “Kami akan meminta pertanggungjawaban BPJS karena aturannya justru memberatkan masyarakat yang butuh pertolongan segera,” tambahnya.
Ombudsman Kepri juga turut menyatakan keprihatinan mendalam atas kematian AOK. Kepala Ombudsman Kepri, Lagat Siadari mengatakan bahwa berdasarkan informasi yang diterima, pasien sempat dirawat beberapa jam namun dinyatakan tidak memenuhi kriteria kegawatdaruratan untuk ditanggung BPJS, sehingga pihak keluarga diminta membayar secara mandiri. Karena keterbatasan ekonomi, orangtua memilih membawa anak tersebut pulang, dan tak lama kemudian AOK meninggal dunia.
“Dalam kondisi seperti ini, pertimbangan kemanusiaan harus diutamakan. Apalagi rumah sakit ini milik pemerintah, sudah semestinya lebih responsif terhadap warga yang membutuhkan pertolongan medis, terutama saat kondisi pasien mengindikasikan kegawatan,” ucap Lagat.
Ia mengacu pada Permenkes RI No. 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan yang mengatur bahwa pasien dalam ancaman kematian atau kecacatan harus segera ditangani tanpa menunggu kepastian administrasi.
Lagat mempertanyakan hasil observasi tim medis yang menyimpulkan bahwa AOK tidak memenuhi syarat sebagai pasien gawat darurat, padahal akhirnya meninggal dunia beberapa jam setelah dipulangkan.
Ombudsman menduga adanya standar ganda dalam proses diagnosis kegawatdaruratan di RSUD Embung Fatimah dan menilai kekhawatiran pihak rumah sakit soal klaim BPJS yang mungkin ditolak seharusnya tidak menjadi penghalang.
“Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi seluruh penyelenggara layanan kesehatan agar kejadian serupa tidak terulang,” tutup Lagat.