BATAM – Mahasiswa Batam merupakan satu dari 14 penggugat UU 3/2025 tentang TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK), setelah undang-undang ini disahkan pada 20 Maret lalu.
Mereka adalah Hidayatuddin dari Universitas Putera Batam dan Respati Hadinata dari Politeknik Negeri Batam sebagai pemohon. Serta empat kuasa hukumnya, yakni: Risky Kurniawan, Albert Ola Masan Setiawan Muda, Otniel Raja Maruli Situmorang (ketiganya merupakan mahasiswa hukum Universitas Internasional Batam) dan Jamaluddin Lobang (mahasiswa hukum Universitas Riau Kepulauan).

Dalam permohonannya, Hidayatuddin dkk menyebut merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena kesulitan mengakses informasi dan tidak adanya kepastian hukum mengenai pembentukan UU 3/2025 tentang TNI. Hal ini terjadi karena tidak adanya transparansi dan tidak disiarkannya dan/atau setidak-tidaknya dipublikasikannya secara terbuka kepada para pemohon, yang pada umumnya melalui Youtube atau TVR Parlemen milik DPR RI, terkait proses pembentukan UU 3/2025.
Namun, gugatan formil yang diajukan mahasiswa Batam, dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK. Dalam amar putusannya, MK menyebut para pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas, persoalan pertautan potensi kerugian mereka dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas, dalam proses pembentukan UU 3/2025.
Permohonan mahasiswa Batam juga disebut tidak dikuatkan dengan uraian dan bukti mengenai kegiatan mereka sebagai aktivis. Terutama berkenaan dengan proses pembentukan UU TNI. Misalnya kegiatan seminar, diskusi, tulisan pendapat para pemohon kepada pembentuk undang-undang, ataupun kegiatan lain yang dapat menunjukkan keterlibatan para pemohon dalam proses pembentukan UU TNI.
Sehingga pemohon dianggap tidak memiliki legal standing, atau kedudukan hukum untuk menggugat Undang-Undang TNI secara formil.
Putusan ini dianggap janggal oleh mahasiswa Batam.
“Karena ketika berbicara bukti bahwa pemohon berpartisipasi aktif dalam aksi demo, dalam posita (alasan alasan pemohon) sudah kami lampirkan berita aksi demo di kota Batam terkait RUU TNI,” kata Albert Ola Masan Setiawan Muda kepada HMS lewat pesan WhatsApp, Senin, 23 Juni 2025.
Meski begitu, Albert dkk tetap mendukung penggugat lain yang berhasil melanjutkan perkara ini ke tahap selanjutnya.
Mahasiswa Batam Punya Legal Standing
Praktisi sekaligus akademisi hukum, Yopta Eka Saputra Tanwie, menyebut mahasiswa Batam sebenarnya punya legal standing atau tautan langsung dengan UU 3/2025 tentang TNI.
Menurut Yopta, pemohon yang kini statusnya sebagai mahasiswa, seharusnya bisa menjelaskan bahwa ada kemungkinan mereka akan mendaftar ke 14 lembaga, yang mengalami perubahan di Pasal 47 UU 3/2025 tentang TNI, di masa depan.
“‘Jadi dengan masuknya prajurit aktif ke 14 lembaga itu, kemungkinan saya masuk semakin kecil.’ Alasan itu yang seharusnya dijelaskan. Kerugian konstitusionalnya itu,” kata Yopta kepada HMS, Rabu, 2 Juli 2025.
Alasan yang sama, menurut Yopta juga bisa digunakan oleh ibu rumah tangga untuk menggugat UU 3/2025 tentang TNI.
“Ibu rumah tangga menjelaskan, ‘saya punya anak yang nanti sudah lulus bisa bekerja di lembaga ini. Dengan masuknya prajurit kemungkinan anak saya untuk masuk ke sana semakin kecil,’” jelas Yopta.
Selain kerugian materil karena kemungkinan menduduki jabatan di lembaga negara tertentu semakin kecil, Yopta menyebut mahasiswa juga bisa menjelaskan kerugian imaterilnya. Yakni tidak didapatkannya hak-hak konstitusional mereka, yang sama rata, sebagai warga negara.
Gugatan Formil UU TNI Diprediksi Gugur
Dari 14 gugatan UU 3/2025 tentang TNI, hanya 5 perkara yang lanjut ke sidang pembuktian. Itupun, diprediksi bakal gugur oleh praktisi sekaligus akademisi hukum, Yopta Eka Saputra Tanwie.
“Kalau pemerintah atau DPR sebagai pihak terkait dalam permohonan ini bisa membuktikan partisipasi publik yang menjadi pokok persoalan gugatan itu, bisa dibuktikan secara jelas dan detail, bagi saya, gugatan-gugatan yang ada hari ini kemungkinan besar ditolak,” jelas Yopta.
Menurut Yopta, bukti yang dimaksud dapat berupa foto, video, rekaman suara, dan CCTV (yang diakui sebagai alat bukti petunjuk oleh MK) terkait seminar diskusi dan kegiatan lain yang menunjukkan terpenuhinya partisipasi publik dalam pembentukan UU 3/2025.
Selain itu, jika dilihat dari putusan-putusan MK sebelumnya, hanya ada satu gugatan formil yang pernah diterima oleh MK. Yakni penundaan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Ditunda kan selama 2 tahun. Itupun yang menjadi rujukan utamanya bukan partisipasi publik. Tapi masalah kejelasan rumusan sama kejelasan tujuan,” kata Yopta.
Meski permohonan mahasiswa Batam tidak dapat diterima MK, Yopta mengaku tetap mengapresiasi keberanian Hidayatuddin dkk. Yopta berharap gugatan ini menjadi bahan pembelajaran bagi mahasiswa Batam.
Untuk mendukung mahasiswa Batam, Yopta menghimbau universitas hukum mengadakan moot court atau peradilan semu, untuk memberikan mahasiswa pengalaman praktis dalam mengaplikasikan teori hukum.
Ia juga menyarankan mahasiswa hukum semester 5 untuk segera magang di kantor-kantor hukum, kejaksaan, atau pengadilan negeri untuk mendapat referensi karir ke depan.
Kunjungi TikTok HMStimes.com