JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menelusuri aliran dan proses jual beli lahan untuk proyek Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS) yang diduga sarat rekayasa. Kali ini, penyidik memeriksa Notaris sekaligus Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Rudi Hartono, untuk mengungkap awal mula transaksi lahan yang sebagian besar dimiliki para petani di Lampung Selatan.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengatakan pemeriksaan terhadap Rudi dilakukan guna mendalami peran dan keterlibatannya dalam proses jual beli lahan yang kemudian dijual kembali ke PT Hutama Kaya (HK).
“Penyidik meminta keterangan bagaimana proses awal jual beli lahan dilakukan,” ujar Budi dalam keterangan tertulis, Sabtu, 11 Oktober 2025 dikutip dari goriau.com.
Selain itu, Rudi juga dicecar seputar dugaan pengondisian lahan oleh para tersangka sejak awal pembelian. “Saksi juga didalami terkait dugaan bahwa lahan telah dikondisikan oleh tersangka sejak awal untuk dijual kembali kepada PT HK,” jelasnya.
Bersama Rudi, penyidik turut memeriksa tiga saksi lain, yakni stafnya Genta Eranda dan Ferry Irawan, serta seorang wiraswasta bernama Bastari. Seluruh saksi hadir dalam pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 9 Oktober 2025.
65 Bidang Disita
Sebelumnya, KPK telah menyita 65 bidang tanah di wilayah Kalianda, Lampung Selatan, Provinsi Lampung yang diduga kuat terkait korupsi pengadaan lahan proyek JTTS tahun anggaran 2018–2020.
Tanah tersebut sebagian besar merupakan milik petani yang hanya menerima uang muka sekitar 5 hingga 20 persen dari nilai jual lahan sejak 2019.
“Penyitaan dilakukan untuk memastikan status lahan agar tidak berpindah tangan selama proses hukum berlangsung,” kata eks Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, Rabu, 30 April 2025.
Lahan-lahan itu dibeli PT Sanitarindo Tangsel Jaya (STJ) dari para petani, kemudian dijual ke PT Hutama Karya (HK). Namun, hingga kini para petani belum menerima pelunasan. Dokumen kepemilikan lahan bahkan masih dikuasai pihak notaris, membuat mereka tidak bisa menjual kembali tanah tersebut.
“Para petani tidak bisa mengembalikan uang muka karena kondisi ekonomi mereka sulit. Selama ini tanah itu tetap mereka tanami jagung untuk bertahan hidup,” ucap Tessa.
KPK menyebut penyitaan ini bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi para petani. Lahan yang disita nantinya bisa diminta pengadilan untuk dikembalikan kepada petani tanpa kewajiban mengembalikan uang muka, atau dilelang untuk melunasi hak-hak mereka.
Dua Tersangka
Dalam perkara ini, KPK telah menahan dua tersangka utama, yakni mantan Direktur Utama PT Hutama Karya, Bintang Perbowo, dan mantan Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Investasi, M. Rizal Sutjipto. Keduanya diduga merancang skema pembelian lahan bermasalah yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp205,14 miliar berdasarkan hasil audit BPKP RI.
“Kerugian negara terdiri dari Rp133,73 miliar pembayaran lahan di Bakauheni dan Rp71,41 miliar di Kalianda,” jelas Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, Rabu, 6 Agustus 2025.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena memperlihatkan bagaimana proyek infrastruktur besar bisa menyisakan penderitaan bagi masyarakat kecil yang lahannya justru menjadi sumber permainan oknum. (*)



