BATAM – Masyarakat nelayan Kecamatan Nongsa, Kota Batam, kembali menggelar aksi damai pada Rabu, 24 Desember 2025 sebagai bentuk protes dan tuntutan keadilan atas aktivitas reklamasi dan pencemaran laut yang dilakukan oleh PT Blue Steel Industries (BSI).
Aksi yang bertajuk ‘Nelayan Batam Menggugat’ ini melibatkan belasan nelayan dari Kelurahan Batu Besar dan sekitarnya, beberapa kelompok pengawas (Pokmaswas) kelautan dan perikanan, serta NGO Akar Bhumi Indonesia. Para peserta aksi menilai bahwa
reklamasi yang dilakukan telah menimbulkan dampak ekologis dan sosial-ekonomi yang serius, berkepanjangan, serta berpotensi permanen terhadap ekosistem pesisir dan ruang tangkap nelayan.

Ngadiron (40), Ketua Kelompok Nelayan Petulang Laut, menyampaikan bahwa sebelum adanya aktivitas penimbunan, wilayah perairan tersebut merupakan daerah tangkapan yang produktif. Fluktuasi hasil tangkapan masih tergolong wajar dan memungkinkan nelayan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun, sejak reklamasi berlangsung, kondisi tersebut berubah drastis. “Sekarang lebih sering tidak ada ikan daripada ada. Untuk operasional saja tidak tertutup, bahkan kami harus berutang minyak. Ini sangat memberatkan,” ujar Ngadiron.
Nelayan jaring bawal dan jaring tenggiri itu menjelaskan, bahwa mereka kini terpaksa melaut lebih jauh ke tengah dengan biaya operasional yang meningkat signifikan, sementara hasil tangkapan tidak sebanding. Kondisi ini menimbulkan tekanan ekonomi yang berat dan memicu ketidakpastian penghidupan bagi keluarga nelayan.

“Dulu cari bawal bisa puluhan kilo. Sekarang dua atau tiga ekor pun jarang, bahkan sering kosong,” ungkapnya. Ngadiron bercerita bahwa penurunan hasil tangkapan juga dirasakan oleh nelayan bubu kepiting.
Wilayah pesisir yang selama ini menjadi habitat utama kepiting mengalami perubahan kualitas perairan akibat sedimentasi. Air laut menjadi keruh dan menguning, sehingga kepiting menjauh dari area tangkapan tradisional nelayan. Sugito (43), perwakilan dari Kelompok Nelayan Mahkota Laut Batu Besar, menekankan bahwa dampak reklamasi semakin terasa pada musim angin utara.
Gelombang besar menghantam bibir pantai dan menyeret material timbunan ke laut lepas, yang menyebabkan kekeruhan air semakin luas.
“Kami tidak punya pekerjaan lain selain melaut. Kalau laut rusak, berarti kehidupan kami juga rusak,” tegasnya.
Wira (39), anggota Kelompok Nelayan Anugerah, menyampaikan bahwa aktivitas reklamasi PT BSI telah berlangsung lama dan menimbulkan keresahan berkepanjangan. Berbagai aksi damai telah dilakukan, namun belum membuahkan respons atau solusi konkret. “Kami hanya meminta perhatian dan tanggung jawab,” katanya.
Dalam aksi tersebut, nelayan juga menyoroti fakta bahwa PT BSI telah disegel sebanyak empat kali oleh instansi pemerintah, yaitu dua kali oleh Pangkalan Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Riau, dan Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Namun demikian, aktivitas perusahaan tetap kembali berjalan. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar mengenai efektivitas pengawasan dan penegakan hukum. Muhammad Idris (42), Ketua Pokmaswas Laut Biru Kelurahan Batu Besar, menyatakan bahwa meskipun penyegelan sudah dilakukan, aktivitas di area reklamasi masih ditemukan.
“Kalau sudah disegel tapi tetap beroperasi, kami harus mengadu ke mana lagi? Ini membuat kami merasa tidak dilindungi,” ujarnya.
Pernyataan senada disampaikan oleh Gerry David Semet (40), Ketua Pokmaswas Pandang Tak Jemu. Ia menegaskan bahwa hasil pengawasan lapangan menunjukkan dampak reklamasi semakin nyata dari waktu ke waktu.
“Kami sudah turun kemarin, dan hari ini turun lagi. Fakta di lapangan menunjukkan reklamasi ini sangat berdampak terhadap nelayan di Nongsa, khususnya di Batu Besar,” kata Gerry. Ia juga mengaku bingung dengan kondisi penegakan hukum terhadap PT BSI.
“Perusahaan ini sudah beberapa kali disegel, tapi tetap beroperasi. Kami mempertanyakan apakah suara nelayan sudah tidak diperhatikan lagi oleh pemerintah,” tambahnya.
Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, yang sejak 2023 mendampingi dan mengadvokasi masyarakat nelayan Nongsa, menilai bahwa kasus PT BSI merupakan contoh investasi yang tidak berwawasan lingkungan serta mengabaikan prinsip keberlanjutan. Ia menegaskan bahwa di wilayah Kepulauan Riau, yang sebagian besar berupa lautan, kesehatan ekosistem laut memiliki keterkaitan langsung dengan
keberlangsungan ekonomi para nelayan.
“Ketika laut rusak, maka pendapatan nelayan pasti berkurang, bahkan bisa hilang sama sekali,” ujarnya. Selain sedimentasi, Akar Bhumi juga mencatat adanya potensi pencemaran lain yang berasal dari aktivitas galangan dan perkapalan, termasuk risiko limbah minyak serta material industri. Minimnya pengamanan teknis, seperti pemasangan penghalang sedimentasi yang sesuai standar, dinilai semakin memperparah ancaman terhadap lingkungan pesisir.
Hendrik menegaskan bahwa aksi damai ini bukan merupakan bentuk penolakan terhadap pembangunan atau investasi, melainkan tuntutan atas penegakan hukum, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial. Menurutnya, aksi damai tersebut bertujuan untuk mendorong perhatian serius dari pemerintah terhadap kerugian yang dialami nelayan akibat reklamasi yang merusak ekosistem pesisir.
“Kami mendesak pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengaudit pencemaran laut, menghentikan aktivitas yang berdampak, mendesak perusahaan melakukan pemulihan ekosistem pesisir, serta memastikan perlindungan ekonomi dan hak hidup nelayan terdampak.” Ujar Hendrik.
Hendrik menilai, penyegelan berulang terhadap PT BSI justru menunjukkan lemahnya penanganan pemerintah. Ia menyebut perusahaan telah empat kali disegel dan hal itu diketahui masyarakat, namun aktivitas reklamasi tetap berjalan. “Kami melihat tidak ada keseriusan pemerintah. Karena itu kami meminta PSDKP Batam, DLHK Provinsi Kepri, dan BP Batam untuk transparan terkait penyegelan tersebut, apa sanksinya, apakah mengurus izin atau benar-benar dikenakan denda,” ujar Hendrik.
Ia menambahkan, diperlukan keterbukaan atas langkah yang telah dilakukan, karena dalam verifikasi lapangan terakhir Akar Bhumi masih menemukan kapal pengeruk pasir yang menandakan aktivitas pendalaman alur dan reklamasi masih berlangsung.
Bagi masyarakat nelayan Nongsa, laut bukan hanya sumber penghasilan, tetapi juga ruang yang menopang keberlangsungan hidup. Laut menyediakan pangan, pendapatan, identitas sosial, serta menjadi penyangga ekonomi bagi komunitas pesisir.
Ketika laut rusak atau direklamasi, yang terancam bukan hanya penghasilan nelayan, tetapi juga keberlanjutan hidup mereka dalam jangka panjang. Tanpa tindakan tegas dan berpihak dari negara, nelayan khawatir kerusakan ini akan berdampak permanen bagi masa depan pesisir dan nelayan di Batam. “Ketika pesisir rusak, nelayan kecil adalah kelompok pertama yang kehilangan sumber penghidupan, dan pemulihannya membutuhkan waktu puluhan tahun, bahkan sering kali tidak dapat kembali seperti semula, mengizinkan reklamasi merusak wilayah tangkap nelayan kecil sama artinya dengan memindahkan biaya pembangunan kepada kelompok paling rentan. Ini bukan pembangunan, melainkan pemiskinan yang dilegalkan,” ujar Hendrik.
Hendrik menegaskan bahwa negara tidak boleh bersikap netral dalam konflik antara investasi besar dan nelayan tradisional, negara memiliki kewajiban untuk melindungi wilayah tangkap tradisional dari aktivitas pembangunan yang merusak. “Tanpa intervensi negara yang tegas, reklamasi dan industrialisasi pesisir akan secara sistematis menghapus nelayan kecil dari peta ekonomi. Ini adalah bentuk ketidakadilan
struktural,” tegasnya.
Dengan demikian, reklamasi yang melanggar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini tidak dapat dipandang sebagai persoalan lokal semata, melainkan mencerminkan lemahnya tata kelola pesisir serta kegagalan negara dalam melindungi hak hidup masyarakat pesisir.



