BATAM – Temuan aktivitas reklamasi yang diduga ilegal di Kelurahan Tanjung Buntung, Kecamatan Bengkong, kembali menegaskan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap kerusakan pesisir di Kota Batam, Kepulauan Riau. Setelah menerima aduan masyarakat pada 19 November, tim investigasi NGO Akar Bhumi Indonesia melakukan verifikasi lapangan pada 23 dan 28 November.
Berdasarkan titik koordinat 1°10’37.7″N 104°02’24.8″E, hasil verifikasi menunjukkan adanya aktivitas penimbunan seluas kurang lebih 2-3 hektare.
PT GP, yang diduga melakukan aktivitas penimbunan, diperkirakan tidak memiliki izin lengkap dan berpotensi melanggar sejumlah ketentuan karena tidak mengikuti prosedur reklamasi yang semestinya.
Material tanah yang langsung dituang ke laut menyebabkan kekeruhan air dan memicu kerusakan ekosistem pesisir, termasuk matinya terumbu karang di sekitar lokasi. “Padahal, proses rehabilitasi terumbu karang sangat sulit dan membutuhkan biaya yang besar. Karena itu, pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap kegiatan di pesisir terutama Izin Prinsip dan Izin Lingkungan, sebab hal tersebut sangat mempengaruhi kehidupan nelayan serta keanekaragaman hayati.

Temuan, adanya dugaan perusakan dan pencemaran lingkungan,” ujar Hendrik Hermawan, Pendiri Akar Bhumi Indonesia.
Dugaan pelanggaran tersebut berkaitan dengan sejumlah regulasi, antara lain:
● Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
● Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 junto Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
● Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
● Peraturan Pemerintah No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Nelayan setempat menyampaikan bahwa kegiatan penimbunan sudah berlangsung sekitar satu tahun dan dalam beberapa bulan terakhir dilakukan secara lebih masif. Mereka tidak mengetahui asal material timbunan, namun menyaksikan ratusan lori pengangkut tanah keluar-masuk setiap hari.
“Tanah itu langsung dituang ke laut. Laut jadi keruh, terumbu karang rusak. Ikan-ikan di keramba saya mati hampir setiap hari. Air laut juga berlumpur, kami sangat dirugikan,” ujar Romi, nelayan keramba berusia 52 tahun.
Romi menegaskan bahwa mereka tidak menolak pembangunan, tetapi meminta agar seluruh kegiatan dilakukan sesuai aturan.
“Kami bukan menolak pembangunan. Tapi lakukanlah pembangunan itu sesuai prosedur. Faktanya, sampai sekarang pemerintah dan perusahaan tidak menjalankan kewajibannya,” tambahnya.

Dampak kerusakan pesisir tersebut secara langsung dirasakan oleh masyarakat yang menggantungkan hidup pada laut, terutama nelayan tradisional. Hasil tangkapan menurun drastis, sementara ikan-ikan di keramba banyak yang mati akibat perubahan kualitas air.
“Dulu dua jam melaut bisa dapat Rp100.000. Sekarang satu hari penuh pun sulit mencapai angka itu. Padahal, sekali jalan saja biaya minyak kami lebih dari Rp70.000,” keluh Rompen, nelayan tradisional berusia 38 tahun.
Dalam tiga tahun terakhir, kondisi ini semakin memperburuk keberlangsungan hidup nelayan. Mereka yang menggunakan perahu kecil dan tidak mampu pergi jauh ke laut lepas terpaksa mencari ikan di pesisir yang kini keruh dan tercemar, sehingga peluang mendapatkan tangkapan semakin kecil.
“Air sudah cokelat. Ikan pun tak mau ke tepi. Mau ke tengah, perahu kami tak sanggup,” ungkap Ipen, nelayan berusia 45 tahun. Kualitas ikan yang tertangkap pun jauh dari layak jual. “Ikan macam begini mana mau orang beli. Tukar minyak pun tak laku, jadi cukup buat lauk makan saja,” ujarnya sambil memperlihatkan ikan kecil hasil tangkapannya.
“Sekarang cari satu kilogram ikan pun susah. Karang-karang yang menjadi rumah ikan sudah dirusak, pergi lah ikan-ikan itu,” tambah Ipin, menggambarkan rusaknya ekosistem pesisir yang menjadi ruang hidup mereka selama ini. Atas temuan dugaan pelanggaran prosedur reklamasi serta besarnya kerugian ekologis dan ekonomi yang dialami masyarakat pesisir, Akar Bhumi Indonesia akan menyampaikan laporan resmi kepada Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Badan Pengusahaan (BP) Batam melalui Direktorat Pengamanan Aset dan Kawasan
(Ditpam).
Laporan tersebut mendesak agar proses hukum, verifikasi perizinan, dan audit lingkungan dilakukan secara menyeluruh dan transparan.
“Secepatnya akan kami laporkan. Kami juga mendorong pemerintah untuk melakukan audit menyeluruh terhadap tata kelola lingkungan di kawasan tersebut.
Faktanya, sudah banyak terjadi perubahan ruang laut menjadi daratan yang tidak dapat dibiarkan begitu saja,” tegas Hendrik Hermawan.
Hendrik juga menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh dilakukan secara sporadis dan ugal-ugalan. Kerusakan yang terjadi saat ini bukan hanya berdampak pada ekonomi masyarakat, tetapi juga menjadi ancaman bagi masa depan ekosistem pesisir Batam.



