BATAM – Perwakilan penyidik Polda Kepri menyoroti pencabutan laporan yang kerap terjadi dalam perkara kekerasan seksual yang melibatkan korban dengan keluarga terdekatnya. Hal ini disampaikan saat kunjungan kerja (kunker) Komisi XIII DPR RI ke Batam di Kantor Pemkot Batam, Rabu, 2 Juli 2025.
Kunjungan kerja ini dalam rangka mendengar masukan mitra kerja dan masyarakat terkait perubahan kedua UU 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Perwakilan Penyidik Polda Kepri menyebut ada contoh kasus seorang anak menjadi korban kekerasan seksual oleh ayahnya sendiri. Korban dan keluarga melaporkan kejadian tersebut ke Polda Kepri, tetapi besoknya mencabut laporannya dengan dalih si ayah merupakan tulang punggung keluarga.
“Katanya, ‘nanti keluarga kami makan apa? Biaya sekolah anak saya bagaimana? Anda mau tanggung jawab?’ Itu menjadi dilema bagi kami,” jelas perempuan berpangkat iptu ini kepada Komisi XIII DPR RI.
Ia menanyakan apakah ada bantuan untuk korban kekerasan seksual, seperti biaya hidup atau beasiswa agar korban dapat melanjutkan pendidikan.
Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, menegaskan tindak pidana kekerasan seksual tidak mengenal restorative justice (RJ). Hal ini merujuk Pasal 23 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mengatur bahwa penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak-anak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
“Kan kebejatannya nauzubillah min dzalik kan. Trus masa kita mau tolerir. Cuma konsekuensi-konsekuensi logis ini seperti apa. Ini menjadi catatan kita bersama,” kata Willy Aditya.
Dalam door stop usai kegiatan digelar, Willy Aditya juga menyampaikan bahwa mekanisme victim trust fund atau dana bantuan korban dapat menjadi salah satu solusi.
Victim trust fund adalah mekanisme pengelolaan dan penyaluran dana yang bertujuan untuk memberikan dukungan finansial kepada korban tindak pidana, baik secara langsung kepada korban maupun ahli warisnya, serta kepada lembaga yang memberikan layanan kepada korban. Dana ini dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk denda pidana, sumbangan pihak ketiga, dan lainnya
“Kita punya nomenklatur victim trust fund, semoga ini bisa kita exercise,” kata Willy Aditya.
Menurutnya, Batam bisa dijadikan pilot project untuk rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Batam tergolong tinggi, Batam sebagai pintu masuk dan keluar negeri juga punya catatan berbagai tindak pidana transnasional.
Permasalahan lain yang disampaikan mitra kerja Komisi XIII DPR RI yakni tidak adanya biaya transportasi bagi saksi yang tinggal di luar Batam, serta kurang maksimalnya perlindungan bagi saksi dan korban karena tidak adanya kantor perwakilan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Batam.
Masukan ini akan menjadi salah satu acuan DPR RI dalam merumuskan perubahan kedua UU 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain Batam, kegiatan ini juga dilaksanakan serentak di Riau dan Bangka Belitung.
Acara serupa juga sebelumnya sudah digelar di tiga provinsi lainnya yakni Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.