Gelombang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sudah berjalan tiga minggu ketika S (40) pada Selasa, 7 Juli 2020, mendatangi Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1, Sei Harapan, Sekupang, Batam, Kepulauan Riau. Dengan membawa beberapa berkas sebagai kelengkapan dan syarat dalam PPDB, ia masuk ke dalam sekolah seorang diri.
Kedatangannya itu bertujuan untuk mengadukan nasib anaknya yang tidak diterima di SMA N 1 Batam melalui jalur zonasi. Suasana sedikit lengang, karena beberapa wali calon murid yang memiliki aduan yang sama berkumpul di ruangan komputer SMA N 1 Batam, lantai 2.
Sambil lalu memasuki pintu gerbang SMA N 1 Batam, S kemudian berpapasan dengan pemuda HH (20) yang berdiri tidak jauh darinya. Karena tak ada orang lain, S pun menanyakan ruangan pendaftaran siswa kepada HH. Kemudian, HH menunjukkan ruangan OSIS yang letaknya hanya beberapa langkah dari pintu gerbang. Sejatinya, ruangan tersebut sudah beralih fungsi menjadi ruangan olahraga yang berisikan meja pingpong dan tumpukan matras.
Tanpa curiga, S pun mengikuti HH masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak lama kemudian, HH langsung membekap S dan melucuti pakaian dalamnya. Di tengah kondisi tersebut, S mengaku tidak bisa melawan dan mencoba mengikuti keinginan HH. S pun sempat menenangkan HH dengan berkata ingin menutup pintu ruangan agar aksi keduanya tidak dilihat orang dari luar. Melalui kesempatan itu, S pun langsung lari ke luar ruangan dan segera mencari pertolongan.
Kasus itu akhirnya kini tengah ditangani oleh Unit Reskrim Polsek Sekupang. HH, tak lama setelah kejadian, langsung diamankan dari kediamannya di Kelurahan Patam Lestari, Sekupang.
S, ibu dari empat anak ini pun mengisahkan kembali apa yang ia alami di ruang osis tersebut. “Saya sudah syok [pada saat kejadian itu]. Kalau di situ saya dipukul, saya sudah gak bisa apa-apa. Jadi dia cepat-cepat langsung buka celana [dalam] saya, dia pun langsung membuka celananya,” katanya.
Meski diselimuti rasa takut, S tetap berusaha tenang dan mencoba bernegosiasi dengan HH. “Kubilang, ‘Tutuplah pintu, Bang. Aku juga pengen [berhubungan badan]. Tapi dia sempat nolak. Dibilangnya, ‘Enggak usah, cepat, sebentar saja, kok,’” kata S menirukan percakapannya dengan HH pada saat kejadian.
Namun, S tak patah arang. Ia tetap meminta agar pintu ruangan OSIS itu tetap ditutup. Saat HH dalam posisi telentang, S pun berusaha meyakinkannya dengan memberikan sepasang sandal yang ia kenakan. “Tutup pintu biar aman, ini nih aku lepas sendal. Ini ni pegang. Dia percaya di situ,” katanya lagi.
Saat HH setuju dan masih dalam posisi telentang, S pun berjalan pelan ke arah pintu. Setibanya di depan pintu, ia pun langsung berteriak meminta tolong. Teriakannya berhasil menarik perhatian orang-orang sekitar dan petugas pengamanan yang berjaga di rumah susun yang berjarak sepelemparan batu dari lokasi kejadian.
Kasus di atas membuktikan bahwa takadanya ruang aman bagi perempuan. Kekerasan yang kerap terjadi pada perempuan pun terus meningkat setiap tahunnya. Catatan tahunan Komnas Perempuan 2019 menunjukkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau ranah personal yang mencapai angka 71 persen atau sebanyak 9.637 kasus. Di ranah pribadi pun paling banyak dilaporkan, tidak sedikit di antaranya mengalami kekerasan seksual. Sementara pada posisi kedua, ditempati oleh kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas atau publik yang mencapai 28 persen atau sebanyak 3.915 kasus.
Ketua Single Parents Indonesia in Motion (Spinmotion) Chapter Batam, Hadyanna Prathita Rahayu, mengatakan kasus yang menimpa S menegaskan bahwa riset yang menyebutkan Indonesia berada di posisi kedua sebagai negara yang tak aman bagi perempuan di wilayah Asia Pasifik benar adanya.
Wanita yang akrab disapa Thita ini menjelaskan, meski Spinmotion merupakan komunitas bagi para janda, duda, dan single parents untuk saling bertukar informasi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan rumah tangga masing-masing, pihaknya juga turut terlibat dalam advokasi korban KDRT dan perkosaan.
“Seperti pada 2018 lalu, kami mendampingi penyintas kasus perkosaan yang menimpa gadis 20 tahun. Namun, kasus tersebut tak sampai ke meja hijau karena laporan dicabut sendiri oleh pihak keluarga, lantaran pelaku merupakan paman dari korban. Ini yang amat disayangkan,” kata dia kepada HMSTimes.com melalui telepon, Jumat, 10 Juli 2020.
Thita menambahkan, sejak Oktober 2019 lalu hingga Juli 2020 sedikitnya terdapat lima kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Bahkan, pada Juni lalu seorang bocah 12 tahun menjadi korban pencabulan yang dilakukan oleh tetangganya, seorang pria beristri pemilik depot galon isi ulang.
“Kami tentu khawatir angka tersebut bisa lebih banyak. Sebab, hukum di Indonesia masih berpangku pada aduan atau laporan korban. Sehingga banyak kasus yang tak naik ke ranah pidana, atau tak diketahui khalayak,” kata dia.
Ia juga menegaskan, dengan banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) harus segera disahkan. Menurutnya, dengan disahkannya RUU P-KS, korban kekerasan seksual bisa memperoleh perlindungan dari negara, termasuk upaya pencegahan dari negara dan pemulihan korban dari kekerasan yang dialaminya.
Undang-undang yang tertuang di dalam RUU P-KS pun, menurut Thita, merupakan pemenuhan kewajiban negara sebagai jaminan agar masyarakat bebas dari segala bentuk kekerasan seksual. “Selain itu, masyarakat juga perlu mendapatkan edukasi seksual agar takada lagi stigma yang mengatakan korban kekerasan seksual disebabkan oleh pakaian yang dikenakan. Toh pada saat kejadian di ruang OSIS SMA N 1 Batam, S mengenakan gamis dan jilbab, tapi tetap saja mendapat pelecehan,” kata Thita.
Sementara psikolog Riko Jayasaputra menjelaskan stigma yang mempertanyakan mengapa korban kekerasan seksual cenderung tak melawan juga berkembang di masyarakat. Para korban pun akhirnya memilih diam dan enggan melaporkan kekerasan seksual yang menimpanya.
Kepada HMSTimes.com, Thita mengatakan, “Padahal, terdapat tiga hal yang terjadi saat seseorang mengalami suatu kejadian atau gunjangan hebat. Pertama adalah melawan, kedua lari, dan terakhir adalah freeze atau lumpuh atau kehilangan kendali atas tubuh.”
Riko menegaskan, memang pada umumnya korban pelecehan seksual akan mengalami sensasi kelumpuhan sementara. Kejadian itu dikenal dengan istilah ‘Tonic Immobility’. “Jadi bukan berarti korban kekerasan seksual itu mengizinkan pelaku berlaku semena-menanya. Saat kejadian, korban syok sampai tak bisa mengendalikan tubuhnya, atau di beberapa kasus bahkan ada yang sampai pingsan,” katanya.
Psikolog yang kini praktik di Rumah Sakit (RS) Awal Bros Batam ini pun menyarankan agar korban kekerasan seksual melaporkan kejadian yang menimpanya ke pihak kepolisian sehingga selain akan mendapat perlindungan hukum, korban juga akan mendapat pelayanan kesehatan mental. Kejadian seperti itu, kata dia, akan menimbulkan trauma dan perasaan lainnya yang berkaitan dengan psikis korban. Selain akan menyebabkan trauma psikologis, tekanan dari diri sendiri serta komentar lingkar sosial akan mengganggu kejiwaan korban. “Untuk itu, meminta pertolongan psikolog atau psikiater amat disarankan,” kata Riko.