Bengkong merupakan salah satu kecamatan di Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), yang paling banyak dihuni. Lokasinya yang dekat dengan pusat kota, kawasan industri Batuampar dan kawasan hiburan Nagoya, menjadikannya sebagai daerah yang dihuni setidaknya oleh 109.587 penduduk menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Batam pada 2018.
Dengan kepadatannya ini, Bengkong pun turut melahirkan permasalahan-permasalahan sosial, salah satunya adalah kemacetan. Meski Pemerintah Kota (Pemko) Batam tengah menggalakkan proyek pelebaran jalan di banyak tempat, kemacetan di Bengkong agaknya tidak juga terselesaikan, terutama di persimpangan yang fenomenal dengan nama Simpang Pantek.
Simpang Pantek sebenarnya bernama resmi Jalan Simpang Bengkong Harapan. Simpang ini membelah jalur menuju Bengkong Harapan, Seipanas, Bengkong Laut, dan Bengkong Al-jabar atau Seraya. Kontur tanahnya yang bergelombang juga miring membuat simpang ini tidak ubahnya seperti medan tempur kekuatan suara klakson, deru knalpot, dan urat leher para pengendara yang tegang pada jam sibuk. Penampakan serupa akrobat yang terjadi di simpang empat bagi siapa pun yang melintas di sana.
Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah metonomia, yaitu sebuah majas yang menggunakan sepatah atau dua patah kata yang merupakan merek produk menjadi nama sebuah benda. Majas ini pun berlaku pada nama gedung atau jalan. Sebagai contoh, masyarakat kita menyebut mi dengan sebutan Indomie, atau air dalam kemasan disebut Aqua.
Simpang Pantek pun disematkan menjadi nama Simpang Bengkong Harapan tadi. Sebabnya, tidak lain dan tidak bukan karena seringnya pengendara yang saling adu urat dan mengumpat kata “pantek.”
Pantek menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna pasak, paku, atau semat. Namun, kata ini sendiri juga dipakai sebagai makian dan diketahui berasal dari bahasa Minang. Menurut Wikipedia Baso Minang, “pantek” atau lebih lengkap “lubang pantek” merujuk pada bagian tubuh perempuan, vagina. Meski secara demografi Batam dikatakan sebagai daerah majemuk, tetapi dari banyak kata umpatan yang hidup di masyarakatnya, kata “pantek” lebih umum digunakan.
Army (36), salah satu pemilik usaha rumah makan di Simpang Bengkong Harapan, mengatakan ia tidak tahu sejak kapan masyarakat menyebut simpang itu menjadi Simpang Pantek. Namun, ia tak memungkiri bahwa Simpang Pantek dikenal akan keganasannya karena sering terjadi kecelakaan di sana.
“Pengendara yang lewat sini memang jarang ada yang mau mengalah, jadinya ya macetlah. Setiap hari, kalau tidak ada kecelakaan, setidaknya pasti ada keributan kecil karena saling senggol atau rebutan jalan,” katanya kepada HMStimes.com, 18 Juli 2020.
Menurut Army, beberapa tahun lalu memang ada lampu merah di sana. Tetapi, lampu merah itu tidak lebih dari sekadar marka jalan saja. Ia juga menyebutkan, salah satu faktor kesemrawutan di Simpang Pantek disebabkan kontur tanahnya yang miring dan menanjak sehingga pengendara tidak melihat ada pengendara lain dari arah berlawanan, yang tidak jarang menyebabkan kecelakaan.
Warga Bengkong Kartini, Adi Wijaya (26), berkisah dirinya pernah sekali waktu hampir ditabrak oleh pengendara motor saat hendak pulang selepas bekerja. Dengan mengendarai motornya dari arah Seipanas, ia melewati Simpang Pantek. Dari arah Bengkong Al-jabar datang pengendara motor lain dengan kecepatan tinggi. Ia yang hendak menuju arah Bengkong laut, atau lurus saja dari Seipanas, terkejut melihat motor dari arah kirinya itu.
“Aku ya langsung ngerem dong biar enggak nabrak. Tapi pengendara itu malah melaju ke arah Seipanas sambil teriak ‘pantek!’ waktu motor kami berpapasan,” katanya.
Adi mengatakan, Simpang Pantek tidak hanya melatih kemampuan berkendara dan kesabaran saja. Di sana, siapa pun dapat juga melatih kosakata makian yang mungkin selama ini terpendam.
“Kalau pagi dan sore [Simpang Pantek] memang kacau. Banyak angkot yang berhenti sesukanya di sana. Polisi juga jarang ada yang jaga,” kata Adi.
Pada akhirnya, terlepas dari kesan tabu, penyebutan “pantek” pada simpang itu bukan karena masyarakat menyenangi hal-hal vulgar seputar tubuh manusia. Di atas segalanya, penamaan ini jelas lebih mewakili kemarahan dan perasaan mereka. Biasalah, namanya juga manusia.