Masih banyak hal yang harus dikerjakan untuk menjadikan Danau Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia. Infrastruktur boleh dibangun, tapi yang lebih penting ialah mental masyarakat agar mau jadi pelayan dan memperlakukan turis sebagai raja.
Hal itu mengemuka pada webinar bertopik “Pembangunan Kawasan Danau Toba Berbasis Budaya Daerah,” Jumat, 11 September 2020, dengan narasumber Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, Prof. Dr. Robert Sibarani, sejarawan Batak Prof. Dr. Uli Kozok, akademisi dari Universitas Naples L’Orientale Italia Dr. Giuseppina Monaco, yang dibuka oleh General Manager Badan Pelaksana Geopark Kaldera Toba, Dr. Ir. Wan Hidayati.
Menanggapi narasumber, pemerhati pariwisata Kartini Sjahrir membandingkan Bali dengan Danau Toba. Menurut dia, dari sisi keindahan alam dan budaya, Danau Toba tidak kalah dengan Bali, tetapi wisatawan lebih memilih ke Bali. Alasan pertama ialah masyarakat Bali sudah siap menjadi pelayan. Hal itu berbeda dengan masyarakat di kawasan pariwisata Danau Toba yang cenderung tidak peduli akan pentingnya pelayanan.
“Infrastruktur penting, homestay juga penting. Tapi, menurut saya, kalau mental melayani belum ada, pariwisata Danau Toba masih akan tetap begitu-begitu saja,” kata Kartini. Padahal, katanya, masyarakat Batak yang dikenal memiliki nilai budaya dan agama yang tinggi semestinya mampu menjadi pelayan. “Masyarakat di kawasan Danau Toba belum siap menjadi pelayan. Sudah saatnya khotbah di gereja mengimbau masyarakat agar mau jadi pelayan. Layani tamu dengan sebaik-baiknya. Buat mereka nyaman,” ujarnya.
Kartini memberi contoh, yaitu ketika suatu hari dia menginap di salah satu hotel di tepi Danau Toba, dan kebetulan di kamar hotel itu banyak rengit. Saat dia meminta pelayan hotel membersihkan rengit dari kamar, dia malah disuruh membersihkan sendiri. “Ketika saya minta bagaimana supaya rengit di kamar hotel itu hilang, pelayan kamar malah bilang, ‘Itu biasa, Bu. Ibu bersihkan saja sendiri,’” kata Kartini Sjahrir.
Senada dengan Kartini, mantan ephorus HKBP pendeta Dr. S.A.E. Nababan mengatakan supaya gereja terlibat dalam pembangunan karakter masyarakat di kawasan pariwisata Danau Toba. “Betapa perlunya gereja untuk memoles karakter masyarakat. Sebab, tanpa karakter yang mau melayani, pariwisata Danau Toba akan sulit berkembang,” katanya.
Sebelumnya, Uli Kozok, sejarawan Batak, warga negara Jerman yang pernah tinggal di Indonesia, mengatakan potensi yang dimiliki Danau Toba sangat luar biasa, tetapi potensi itu belum dimanfaatkan. “Menurut saya, potensi yang sudah digarap tidak sampai 10 persen,” katanya.
Dia pun mengajukan beberapa ide agar masyarakat di kawasan Danau Toba terlibat dan merasakan dampak dari pariwisata, antara lain merehabilitasi rumah tradisional menjadi homestay. “Homestay bisa dikembangkan karena turis benar-benar seperti tamu. Namun, harus disiapkan juga homestay yang layak dengan memperhatikan kebersihan, fasilitas toilet, dan makanan yang tersedia,” katanya.
Selain itu, agar masyarakat terlibat langsung, atraksi wisata bermuatan lokal perlu dikembangkan, seperti proses mengambil nira atau tuak, memasak makanan Batak, dan belajar tortor. “Itu sangat menarik untuk wisatawan,” katanya.
Sementara itu, Guiseppina Monaco mengatakan perlunya sumber-sumber informasi tentang pariwisata sehingga turis tidak tersesat. “Bagaimana rute dari Medan ke Danau Toba, itu sangat penting bagi turis,” katanya.