Sepak bola Kota Medan, Sumatra Utara, pernah berjaya dan merajai sepak bola Indonesia hingga memukau Benua Asia pada era tahun 1960-an. Pesepak bola seperti Parlin Siagian, Nobon Kayamuddin, Sarman Panggabean, Tumsila, Ponirin, dan Wibisono merupakan pemain PSMS Medan sekaligus pemain langganan tim nasional Indonesia dengan segudang prestasi yang sulit dilampaui pemain profesional masa kini.
Dalam wawancara HMStimes.com pada 24 September 2020 di stadion mini Kebun Bunga di Kota Medan, mantan pemain bola legendaris tim nasional yang juga mantan gelandang PSMS Medan, Nobon Kayamuddin, yang kini berusia 69 tahun, berkisah tentang sepak bola pada eranya hingga era sekarang.
Nobon mengatakan, dulu pada tahun 1960-an, pemain sepak bola tidak ada bayaran sama sekali dan tidak ada gaji bulanan, hanya ada uang transportasi yang disediakan saat akan bertanding ke luar kota. “Bermain sepak bola merupakan kebanggaan bagi kami orang-orang kampung. Tidak ada uang, ada makanan saja sudah cukup bagi kami,” katanya.
Saat ia masih muda, Nobon mampu bermain sepak bola berjam-jam di lapangan. Bahkan, bola seberat hingga dua kilogram pun bisa disepaknya bersama dengan kawan-kawannya dengan rasa gembira. Tidak ada jarak sosial antarpemain, karena pemain-pemain dari daerah seperti Tarutung, Balige, Tanah Karo, dan Deli Serdang juga membaur di Kota Medan ini untuk bermain sepak bola.
Karena banyaknya pemain sepak bola kala itu, terbentuklah Persatuan Sepak Bola Harapan Medan Sekitar (PSHMS) tahun 1966 setelah sebelumnya sudah ada nama PSMS Medan yang terbentuk pada tahun 1950, yang diperkuat para pemain hebat seperti Ramlan dan Ramli Yatim.
Meskipun persepakbolaan Indonesia sempat vakum setahun karena peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965, tim sepak bola Sumatra Utara yang dihuni para pemain PSHMS berhasil menjadi juara dengan meraih medali emas pada Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-7 di Kota Surabaya tahun 1967. Prestasi PSHMS ini membuat hampir seluruh pemain andalannya beralih menjadi pemain PSMS Medan dan pemain nasional Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Bahkan, Nobon Kayamuddin bertanding dalam kejuaraan internasional, berhadapan dengan tim nasional Uruguay dan sukses membawa kemenangan bagi Indonesia dengan skor 2:1.
Pria yang lahir pada 8 Maret 1951 ini melihat sepak bola modern saat ini diukur dari kemampuan uang sebuah klub dan ikatan kontrak berupa pemberian gaji sehingga jika kontrak tidak cocok, itu akan sangat memengaruhi performa pemain dalam bertanding.
Mengenai PSMS Medan yang rencananya akan berbenah mengarungi Liga 2, Nobon menilai pemain PSMS Medan saat ini kurang bermain dengan sepenuh hati, dan semangat bermainnya berdasarkan nilai kontraknya. Dia khawatir kalau PSMS Medan dipilih menjadi tuan rumah pertandingan lanjutan Liga 2 pada bulan Oktober 2020 mendatang, karena beban moral bermain di kandang sendiri dengan disaksikan langsung penonton fanatiknya. Ia berharap agar PSMS Medan, klub yang dulu membesarkan namanya, bisa kembali ke Liga 1 dan dikenal lagi oleh pencinta sepak bola nasional.
Menurut pengamat PSMS Medan, Halomoan Samosir, pada era perserikatan, PSMS Medan pernah memiliki prestasi di tingkat nasional dan pernah juara tahun 1967 dan 1971. Namun, seiring waktu, sepak bola Indonesia beralih ke era profesional dari era perserikatan yang dibentuk pada 1930. Dengan perubahan itu, klub kebanggaan Sumatra Utara, PSMS Medan, tidak siap mengikuti kompetisi, karena pembiayaan klub harus dilakukan secara profesional dan dibiayai oleh klub itu sendiri. Akhirnya, prestasi PSMS Medan terus menurun hingga sering terjadi konflik, bahkan terseret dalam kepentingan politik.
Namun, adanya regulasi tahun 2000-an sedikit memberi napas baru dan subsidi bagi klub sepak bola di tanah air, karena klub yang mengikuti kompetisi bisa dibiayai dengan APBD. Hasilnya sempat membuat prestasi PSMS Medan melonjak hingga ke papan atas pada kompetisi divisi utama PSSI. “Pada kompetisi sepak bola tahun 2007 hingga 2009 PSMS Medan pernah papan atas masuk finalis. Saat itu manajer tim ialah Randiman Tarigan, yang merupakan pejabat dari Pemerintah Kota Medan, sehingga semua pembiayaan klub saat itu dibiayai oleh pemerintah,” kata Halomoan Samosir kepada HMStimes.com.
Akan tetapi, peraturan baru kembali dikeluarkan pemerintah. Pada tahun 2011 pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan peraturan yang melarang klub sepak bola profesional menggunakan dana APBD. PSMS Medan pun merana, bahkan tidak pernah lagi masuk dalam papan atas klub terbaik di Indonesia. Puncaknya, PSMS terperosok ke Liga 2.
Sebagai pengamat sepak bola, Halomoan mengapresiasi Gubernur Sumatra Utara yang memberikan pikiran demi perkembangan PSMS Medan saat ini. “Kalau tidak ada Pak Edy, takada lagi yang peduli dengan PSMS ini,” katanya.
Ia berharap PSMS bisa dikelola dengan manajemen yang baik dan terbuka, melibatkan banyak pengusaha seperti dari kalangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Kalau mengandalkan satu orang saja, seperti Gubernur Sumut, mustahil PSMS Medan bisa kembali merajai sepak bola Indonesia.
Mengenai skuad PSMS saat ini, Halomoan menilai masuknya Gomes de Olivera, mantan pelatih Madura United yang menjadi arsitek PSMS Medan, membuka kans yang besar untuk bisa menerobos Liga 1 tahun depan. Tidak itu saja, beberapa pemain nasional seperti Paolo Sitanggang, Ferdinan Sinaga, dan pemain asal Papua, Emanuel Wanggai, yang sudah melanglang dalam dunia sepak bola Indonesia, diharapkan mampu mengembalikan kejayaan PSMS Medan seperti dulu.
Salah satu pemain PSMS, Paolo Sitanggang, mengaku sangat bangga bisa bermain dalam PSMS Medan. Dirinya berambisi membawa PSMS lolos ke Liga 1 dan berkompetisi di kasta sepak bola tertinggi di Indonesia. “Saya lahir di Pekanbaru, itu pun numpang lahir karena saat saya masih kecil kami semuanya pindah ke Kota Medan. Keluarga saya banyak di Pangururan dan saat ini saya bangga bisa kembali ke Medan,” katanya kepada wartawan.
Pelatih PSMS Medan, Gomes Olivera, mengatakan akan menyiapkan 23 pemain yang berkualitas dan siap memberikan prestasi bagi PSMS Medan. Sebaliknya, katanya, beberapa pemain yang tidak layak harus dibuang dari tim. “Saya masih terus mencari pemain lain, dan beberapa pemain akan datang lagi, dan tim ini harus siap naik untuk Liga 1,” katanya. Pelatih berkebangsaan Brazil dan fasih berbahasa Indonesia ini melihat seluruh tim sudah mulai kompak, dan dirinya sudah bisa bekerja sama dengan asisten pelatih yang juga mantan pemain tim nasional Indonesia, Ansyari Lubis. Oleh karena itu, dia optimistis memadukan semua pemain yang ada, junior dan senior, untuk bertarung di Liga 2 yang akan digelar akhir Oktober 2020.
Yosef Nababan, warga Kota Medan pencinta klub sepak bola PSMS Medan, mengatakan kepada HMS bahwa hampir setiap hari ia selalu menyaksikan pemain PSMS berlatih di Kebun Bunga maupun di Stadion Teladan. Kecintaannya kepada PSMS Medan dimulai sejak ia masih duduk di bangku SMP hingga saat ini bekerja sebagai mekanik. Baginya, menyaksikan PSMS Medan bertanding dalam kompetisi sangat menyenangkan. “Saya ikut fan penonton PSMS. Kalau PSMS mau bertanding di Stadion Teladan, kami sudah berkumpul dan konvoi menuju Teladan. Sangat asyik bisa ramai-ramai mendukung PSMS dari tribune,” katanya. Ia menginginkan PSMS Medan bisa kembali menjadi juara sepak bola Indonesia, dan ingin melihat Kota Medan memiliki stadion sepak bola besar seperti yang ada di Jakarta. (Franjul Sianturi, calon reporter HMS)