Kaus hijau dan celana jin yang dikenakan Budi Bahar belum kering saat HMStimes.com menemuinya di sebuah warung kopi di Jalan Mantri menuju ke Kampung Aur, Kota Medan, Sumatra Utara, siang hari pada 30 September 2020. Pakaian Budi tampak masih basah setelah banjir melanda permukiman di tepi Sungai Deli itu. Tanpa mengenakan alas kaki, dia memandu HMS dan menunjukkan lokasi permukiman yang terendam akibat meluapnya sungai setelah hujan turun semalaman hingga pagi harinya.
Bersama dengan Budi, HMS ikut menyusuri lokasi permukiman yang hanya bisa dilalui dengan sepeda motor. Di sana tampak beberapa warga menyiram halaman rumah dari lumpur yang masih lengket. Penghuni rumah membersihkan rumahnya dari genangan air yang berlumpur akibat luapan sungai. Anak-anak muda ikut mendorong lumpur ke arah parit yang mengalirkannya kembali ke sungai.
“Beginilah kalau sudah banjir. Lumpur harus dibersihkan supaya tidak becek,” kata Budi Bahar, warga Kampung Aur, yang selama ini aktif menyuarakan aspirasi masyarakat yang bermukim di Sungai Deli. Setiap kali banjir, katanya, hampir 500 rumah di sana akan tergenang.
Salah satu penggagas Laskar Bocah Sungai Deli (Labosude) itu bukan sekali dua kali menyuarakan apa yang terjadi di kawasan permukiman di bantaran sungai yang dihuni empat lingkungan di Kampung Aur, Kecamatan Medan Maimun. Dia lantang bersuara, tetapi kadang kala warga tepi sungai tetap disalahkan. Misalnya, warga dituduh masih membuang sampah sembarangan di sekitar sungai. Padahal, kata Budi, sebanyak-banyaknya sampah warga yang bermukim di tepi Sungai Deli tidak akan membuat banjir sebegitu parah. Dia malah menuduh balik bahwa Sungai Deli memang sudah menjadi tempat pembuangan sampah warga Kota Medan. Industri, hotel, restoran, bahkan rumah sakit pun membuang limbahnya langsung ke sungai itu. Dia taksetuju bila warga tepi sungai yang selalu dituduh sebagai kambing hitam persoalan Sungai Deli.
Dia mempertanyakan kanal yang dibangun Pemkot Medan sebagai penahan air untuk menanggulangi banjir di Kota Medan. “Saya tidak bilang kanal itu proyek gagal, tapi apakah benar kanal itu difungsikan dengan benar?” katanya. Sebab, jika kanal itu benar-benar difungsikan, menurutnya, tidak mungkin luapan air cepat naik dan cepat pula turun. Buktinya, ketika Rabu pagi air meluap, pada siang harinya luapan air sudah surut. Itu mengindikasikan bahwa pintu kanal untuk menyerap air tidak dibuka sehingga air langsung mengalir ke sungai dan meluap ke bantaran sungai.
“Bila hujan hanya terjadi di sini, belum tentu banjir di sini. Sumber air ini berasal dari kiriman dari hulu. Jika tidak ditahan, luapan air akan ke sini semua. Jadi, ini banjir sebenarnya bencana buatan, bukan fenomena alam,” kata Budi. Persoalan ini hanya dapat diatasi jika kanal penahan banjir difungsikan. “Takkan banjir Kota Medan ini kalau kanal itu berfungsi. Kenapa tidak berjalan pengalihan arus air itu tadi?” katanya.
Menurut Budi, bisa jadi ada agenda lain di balik persoalan banjir yang menimpa warga di tepi Sungai Deli. Satu di antaranya, sebagai alasan untuk melakukan penggusuran. Kedua, menjadi bahan untuk janji politik calon wali kota. Seperti pada musim pilkada sebelumnya, calon wali kota selalu datang mengunjungi warga di tepi sungai yang menjadi korban luapan sungai. Contohnya, pada 1 Oktober 2020 dua calon Wali Kota Medan, Akhyar Nasution dan Bobby Nasution, mengunjungi warga Kampung Aur setelah sehari sebelumnya kampung itu dilanda banjir.
Menurut Budi, warga sudah terbiasa dengan kunjungan calon wali kota, yang mengumbar janji akan melakukan solusi atas persoalan banjir yang mereka hadapi. Namun, belum ada janji yang benar-benar terealisasi. “Ketika ada kepentingan, jadi pentas ajang demokrasi. Setelah selesai, masyarakat tersudutkan,” katanya.
Belum ada Wali Kota Medan yang menepati janjinya membereskan persoalan banjirnya Sungai Deli. “Belum ada, malah ada ancaman-ancaman. Surat datang, pengosongan lahan masyarakat bantaran sungai. Maunya jangan hanya kami yang disurati. Undang juga pengusaha, duduk bareng sebagai sesama warga Medan. Jangan hanya kami saja yang jadi sasaran,” katanya.
Menurut dia, penggusuran atas nama banjir bukan solusi. Seharusnya masyarakat bantaran sungai dilibatkan untuk merehabilitasi kawasan di pinggiran Sungai Deli agar tertata lebih baik, termasuk misalnya menjadikannya sebagai objek wisata alam. “Tapi kalau untuk dijadikan rumah susun atau kondominium, itu bukan wacana,” katanya. Jika itu terjadi, Sungai Deli kelak akan menjadi pembuangan limbah dan sampah.
Lokasi permukiman warga di bantaran Sungai Deli di Kampung Aur tampak lebih rendah sekitar dua meter daripada lokasi permukiman warga yang berdekatan dengan lintasan Jalan Brigjen Katamso. Bila sungai meluap, rumah mereka akan tergenang hingga setinggi dada orang dewasa. Karena seringnya banjir, tampak beberapa rumah memiliki bekas luapan banjir di dinding. “Biasa selutut, sering juga sampai setinggi itu,” kata seorang warga. Bila musim hujan sudah tiba, warga mulai cemas. Mereka selalu siap siaga menyelamatkan barang-barang bila hujan berlangsung lama. “Sudah biasa,” katanya.
Kepala Lingkungan III Kampung Aur, Ali Umar, mengatakan kepada HMS, “Sejauh ini yang bisa kita lakukan, bila banjir kemungkinan akan terjadi, kita wanti-wanti warga agar siap-siap kita evakuasi.” Ketika ditanya terkait pencegahan, Ali menjawab dengan nada sarkastis, “Kalau pencegahan, maaf cakap, pindahkan saja sungainya.”
Menurutnya, salah satu solusi yang dapat dilakukan ialah dengan melakukan normalisasi sungai. “Kanal itu berfungsi, yang jelas sungai harus dinormalisasi. Kapan? Kami tunggu,” katanya.
Senada dengan Ali Umar, Kepling IV Kampung Aur, Yahdi Sabil, mengatakan normalisasi merupakan solusi untuk mencegah terjadinya banjir berulang-ulang di bantaran Sungai Deli, termasuk Kampung Aur. “Saya sebagai kepling hanya bisa mengimbau warga agar berhati-hati mengantisipasi, menjaga rumah masing-masing. Sebelum saya jadi kepling pun sudah selalu banjir kampung ini,” katanya.
Sejauh ini, katanya, bila banjir terjadi dan menimpa warga, kadang ada bantuan walau tidak banyak. Apalagi menjelang pilkada, bantuan dari calon wali kota kabarnya juga bakal turun. “Tadi saya dengar dari warga, calon wali kota sudah ada yang mau hadir. Dua-dua, termasuk dari nomor satu dan nomor dua juga hadir, ada bagi-bagi ke masyarakat,” kata Yahdi Sabil.
Begitulah, setiap kali musim pemilihan Wali Kota Medan tiba, Sungai Deli menjadi podium janji politik. Calon wali kota datang ke Sungai Deli untuk menunjukkan kepeduliannya, dan berjanji menyelesaikan masalah banjir di Kota Medan. Namun, setelah pilkada berakhir, janji-janji politik itu tidak pernah menjadi kenyataan.