Toko-toko buku di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, mulai pudar seiring waktu. Selain minimnya minat baca masyarakat yang kini banyak menghabiskan waktu di media sosial, tumbuhnya toko buku online juga telah mematikan banyak lapak buku konvensional.
Di kompleks Sakura Anpan, Batam, ada satu toko buku bekas, atau biasanya disebut warga sebagai tobukas. Menurut pengelolanya, Mang Anton, awal mulanya di tahun 2007 tobukas ini adalah usaha rental komik milik orang lain yang kemudian bangkrut. “Aku sempat jadi penjaga toko ini. Setelah yang punya rental balik kampung, yang punya ruko menawarku ruang kosong ini untuk kukelola,” katanya kepada HMS, 9 November 2020.
Dia pun memulai usaha tokonya dengan modal yang dipinjamkan pemilik ruko, dan hanya dalam empat bulan dia berhasil mengembalikan pinjamannya itu. Untung dari berjualan komik membuatnya merasa ada peluang cukup besar dari berbisnis buku. Sebagaimana mimpi masa lalunya, dia pun mulai berpikir untuk mengisi toko tersebut dengan buku serius, seperti buku sastra dan buku ilmiah populer.
Namun, saat itu ia merasa ragu dengan tujuannya itu. Dalam pikirannya, masyarakat Batam rata-rata adalah orang perantau dengan tujuan utama bekerja. “Ke sini [Batam] orang-orang mau kerja dan cari uang, bukan buat belajar atau membaca buku,” kata Mang Anton.
Meski begitu, dia bisa mengatasi keragu-raguannya. Ketika mudik ke kampung halamannya di Bandung, ia nekat memborong banyak buku di Pasar Palasari dan Dewi Sartika. Dia juga mampir ke Pasar Senen dan Blok M di Jakarta. “Ke Batam aku bawa banyak buku serius itu. Kalau tidak laku, aku bisa baca sendiri, pikirku saat itu,” katanya.
Setibanya dia di Batam, buku-buku yang ia bawa ternyata cukup laris. Bahkan, ia beberapa kali mencoba mencari pasokan baru untuk buku-buku serius sembari tetap menjual komik bekas.
Menurutnya, tahun 2007 hingga 2014 adalah masa-masa keemasan perdagangan buku. Namun, hingga kini ia tetap percaya, sebagaimana kalimat yang dilontarkan penulis Amerika Serikat, Ray Bradbury, bahwasanya orang tidak bisa memegang komputer dan handphone seperti mereka memegang buku yang punya aroma khas.
Rata-rata pembeli yang datang ke toko Mang Anton adalah mahasiswa, pekerja, dan juga penggiat literasi. Ia pun berpikir bahwa kegiatan literasi adalah sesuatu yang penting dan harus ada di Kota Batam. “Jadinya aku kadang kasih harga murah saja buat mereka yang borong buku untuk bikin pustaka dan kegiatan literasi lainnya,” katanya.
Tahun 2019 lalu dia membuka tempatnya bagi komunitas pencinta sastra di Kota Batam untuk dijadikan ruang diskusi. Saat itu secara berkala Komunitas Kelas Literasi Apaan? mengadakan diskusi buku sekali dalam dua minggu, yang diinisiasi oleh Kasiyanto dan teman-temannya. Kelas tersebut menciptakan suasana dan ruang baru di toko Mang Anton. Pengunjung pun kembali berdatangan.