Selama empat tahun berdiri, sejak 30 November 2016, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) dinilai otoriter dan malah menimbulkan konflik di tengah masyarakat di kawasan Danau Toba, seperti konflik hak pengelolaan lahan yang terjadi di Sigapiton, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara.
“Melihat reaksi di Sigapiton, saya kira ada yang tidak beres di internal minority ini. Maka saya menyarankan ada evaluasi atau reposisi dari Kementerian soal BPODT,” kata Richard Sidabutar, aktivis pemerhati Danau Toba, dalam diskusi terkait dengan empat tahun kehadiran BPODT di Literacy Coffee, Medan, 14 November 2020 malam.
Mantan anggota DPRD Sumut itu mengatakan pendekatan yang dilakukan BPODT kepada masyarakat perlu diubah karena tidak mengakomodir hak masyarakat, tetapi lebih mendorong keharusan pembangunan pariwisata Danau Toba. “Kalau pendekatannya sangat otoritatif yang dilakukan oleh negara dan diwakili oleh badan ini, saya kira akan kontraproduktif, karena masyarakat di kawasan Danau Toba sangat terbuka dan saling menghormati,” kata Richard Sidabutar.
Katanya, pemerintah pusat jangan memandang bahwa yang dibutuhkan masyarakat lokal di Danau Toba adalah bangunan, fasilitas, maupun kemewahan atas nama pembangunan pariwisata. “Dalam empat tahun ini benar tidak, determinan tidak, Danau Toba ini sebagai kawasan superprioritas. Masak dalam empat tahun progresnya jalan di tempat. Masak dalam empat tahun hak pengelolaan otorita Danau Toba itu tidak ada yang mirip. Masak tidak ada orang yang mau berinvestasi di kawasan yang 500 hektare [yang dikelola BPODT] itu,” katanya.
Richard Sidabutar juga memperkirakan konflik-konflik lain akan muncul pada masa mendatang karena gaya pendekatan BPODT di Sigapiton. Karena itu, dia mengimbau pemerintah kabupaten di kawasan Danau Toba agar mengajak masyarakatnya menyertifikatkan tanahnya.
Menjawab tuduhan bahwa BPODT dikambinghitamkan dengan adanya konflik tanah di kawasan Danau Toba, tenaga ahli bidang ekonomi dan hukum BPODT Edward Sinuhaji mengatakan BPODT pada prinsipnya turut pada perintah presiden dan dewan pengarah. Dia mengatakan konflik tanah seharusnya ada pada domain pemerintah daerah. “Mohon maaf ya, sebenarnya ada kegamangan di pemkab, tidak tahu kewenangan dan tugasnya. Setiap proyek pusat di mana pun, penyediaan lahan itu disediakan daerah, pusat menyediakan pendanaannya,” katanya.