Keberadaan depo peti kemas di kawasan industri PT Union Bandar Abadi (UBA), Batu Ampar, Kota Batam, Kepulauan Riau, rentan membahayakan warga. Masyarakat yang bermukim di sekitaran mulai mewaspadai potensi bencana longsor, seiring dengan terus meningkatnya curah hujan. Kawasan yang rentan ialah rumah-rumah warga di ujung bukit yang terbentuk akibat proses pemotongan lahan.
Permasalahan yang membelit warga dan gudang peti kemas yang dikelola oleh PT Laut Mas ini sebenarnya sudah terjadi sejak 2018, hanya saja hingga sekarang tahun 2021, persoalannya tidak kunjung selesai dan seolah dibiarkan mengendap menjadi bom waktu yang dapat merugikan secara materi, termasuk dapat pula membahayakan nyawa bila tak cepat diantisipasi (baca: Bongkar Muat Peti Kemas Bikin Warga Jadi Cemas).
Pada 29 Januari 2021, HMS mendatangi kantor PT Laut Mas, hanya saja, menurut petugas jaga, pihak manajemen sedang tidak berada di tempat dan pihak yang bisa menjawab pertanyaan wartawan adalah manajemen PT UBA, “PT Laut statusnya cuma menyewa lahan, kalau yang punya kawasan itu PT UBA. Nanti biar manajemen PT UBA yang menjelaskan,” katanya kepada HMS.
Petugas akhirnya memfasilitasi HMS untuk bertemu manajemen PT UBA dan membuatkan janji temu wawancara tanggal 30 Januari 2021, sesuai keinginan manajemen kawasan. Namun, ketika didatangi keesokan harinya, pertemuan itu mendadak diundur. Wawancara baru terlaksana pada 1 Februari 2021.
Perwakilan PT UBA, Arianto mengatakan, pihaknya selama ini tidak memungkiri akan banyaknya keluhan warga akan rumahnya yang retak-retak, termasuk soal bencana longsor diakuinya memang rawan terjadi ketika intensitas hujan mulai meninggi seperti yang terjadi sepanjang Januari 2021 ini.
“Pertama status pemukiman yang di ujung bukit itu bukan kavling atau dalam tanda kutip “rumah liar” [Bengkong Polisi], kedua memang drainase tidak ada, jadi air mau ke mana? Batu miring kita sudah ada buat, dan sudah perkuat juga dengan tanaman [pohon]. Terus kita juga punya rencana mau buat bak kontrol air di atas untuk menampung air kalau ada hujan. Kalau di atas kita liat, duh, rumah sudah mepet-mepet semua [di ujung bukit],” kata Arianto ditemui di kantornya.
Dia menjelaskan, manajemen sudah membantu warga yang tinggal di sekitar kawasan. Pihaknya sudah memperbaiki rumah-rumah yang retak yang dituding warga terjadi akibat dampak dari aktivitas gudang penyimpanan peti raksasa di kawasannya. Selain itu, pihaknya juga kerap membagikan sembako yang kata dia, merupakan salah satu bentuk tindak kepedulian perusahaannya kepada warga.
“Memang lokasi rumah mereka itu letaknya itu sangat-sangat di pinggir. Bagaiamana tidak membahayakan? Jadi kita akan buat lagi tambahan untuk menguatkan tanahnya. Dengan kondisi sekarang warga mau pindah juga susah, kan?” kata Arianto. Kesulitan memindahkan warga itu disebabkan karena pemukiman di sana lebih dulu ada ketimbang depo peti kemas. Selain itu, pemukiman di tepi bukit juga sudah ramai ditinggali penduduk.
Ketika ditanyakan soal peruntukkan lahan yang dijadikan depo peti kemas itu, apakah diperuntukkan untuk pemukiman, jasa atau industri, Arianto menjawab, “Peruntukkannya untuk industri. Kalau yang kavling itu bukan kita,” kata dia. Kemudian, taklama setelahnya ponsel Arianto berdering, pertanda ada pekerjaan yang harus dia selesaikan dan wawancara pun terpaksa berhenti. “Sudah, ya, saya pamit dulu,” katanya. Pertaanyaan HMS soal legalitas usaha dan lahan yang sebelumnya sudah dilayangkan belum terjawab.
Salah satu warga Bengkong Polisi, Bernauli Siregar (46), mengaku dirinya sudah pasrah menerima dampak getaran aktivitas depo peti kemas yang membikin dinding rumah warga menjadi retak, termasuk tanah belakang rumahnya yang perlahan terkikis ketika hujan turun.
“Mau bilang gimana lagi, sudah dari dulu dikeluhkan mereka takpernah datang melihat. Memang ada warga yang menerima bantuan, tetapi saya sama sekali belum ada terima,” kata Bernauli kepada HMS ditemui di rumahnya, 2 Februari 2020.
Dia mengatakan, tetangga rumahnya sampai pindah karena merasa terganggu dan kondisi kamar belakang rumahnya yang miring menjorok ke arah bawah hingga hampir longsor. Itu akibat perluasan arealde tanpa dibarengi dengan pemasangan batu miring penahan longsor.
“Iya memang sudah dipasang batu miring, tetapi yang di sekitaran kavling saja [Bengkong Kartini],” kata dia.
Sementara itu, Fandi, warga Bengkong Kartini mengatakan, kenyamanannya memang terganggu akibat aktivitas rutin bongkar muat peti kemas itu. Selain mengeluarkan suara bising, bongkar muat peti raksasa itu terkadang berlangsung hingga malam hari. “Kalau saya sih, karena orang baru, ya. Memang itu kalau ada aktivitas pasti bisinglah. Tetapi mau diapain lagi. Saya juga heran kok depo peti kemas ada dekat pemukiman,” katanya.
Pantauan HMS di lapangan, tidak terlihat drainase dan batu miring di sekitaran batas bukit Bengkong Polisi. Drainase dan batu miring hanya tampak di sekitaran Bengkong Kartini. Pada rumah warga di batas bukit terlihat bencana longsor juga sudah terjadi, tanah berikut pepohonan di belakang rumah warga sudah meluncur ke bawah, bahkan beberapa rumah kondisinya retak-retak dan sudah dalam posisi miring seperti tinggal menunggu waktu untuk roboh.
Sebagai informasi, permasalahan yang timbul dikarenakan adanya elevasi antara pemukiman yang berada di dataran lebih tinggi ketimbang lahan yang dijadikan gudang penyimpanan peti raksasa itu. Lokasi pemukiman dan depo peti kemas letaknya juga bersebelahan. Depo peti kemas itu terbentang di lahan seluas sekitar 10 hektare, yang penuh dengan tumpukan peti raksasa. Hingga sore hari aktivitas di sana terus berjalan, dan raung alat berat nyaring terdengar.
Lokasi penyimpanan sementara peti raksasa yang dikelola oleh PT Laut Mas ini berada di dataran yang lebih rendah dari permukiman warga, dan keberadaannya diprotes warga. Mereka merasa kenyamanannya terganggu semenjak ada aktivitas rutin bongkar muat peti kemas itu. Selain mengeluarkan suara bising, dampak getarannya juga membikin dinding rumah warga menjadi retak.