“Ini bukan buku romantis, sebab tak pernah luput dari kau yang kutulis.” Kalimat di sampul buku berjudul Ada yang Kadaluarsa, Kita ini cukup menarik perhatian. Apalagi bagi mereka yang hatinya sedang terbentur dinding asmara. Atau, mungkin, yang mengalami kisah-kisah cinta tak sampai lainnya.
Penulisnya tak asing. Namanya Dwialfah (23). Belum lama ini lulus dari Politeknik Negeri Batam.
Buku bersampul perempuan yang sedang berdiri di bawah pohon itu, sekilas tampak seperti catatan-catatan dalam buku harian. Pilihan kata yang digunakannya pun lumayan ringan. Pembaca tak perlu sampai harus membuka KBBI atau mesin pencarian Google untuk memahami arti dari setiap kalimatnya.
Ada satu tulisan dalam buku Dwi, di lembar terakhir kumpulan puisi itu, yang mungkin akan langsung terekam di memori pembacanya.
Kekasihku, tak kunjung pulang
Jangan-jangan kekasihku hilang
Ya ampun
Mana belum lunas.
-kekasih kreditan
Puisi bertajuk Kekasih Kreditan itu, diakui Dwi, tak jarang membuat orang lain tertawa ketika membacanya. Tentu saja siapapun akan penasaran, tentang konsep dari kekasih kreditan yang tidak biasa ini.
“Banyak hal-hal yang harusnya masih bisa dilakuin, jadi kenapa aku bilangnya enggak lunas,” kata Dwi baru-baru ini kepada HMS. Dwi menceritakan bahwa puisi itu merupakan resah seseorang yang ditinggal kekasihnya, yang telah tutup usia. Siapa sangka tulisan yang kerap mengundang tawa dan tanya itu, menyimpan makna yang begitu dalam bagi perempuan yang juga mengikuti komunitas pecinta alam ini.
Tentang siapa pemilik kisah di balik puisi itu, hanya Dwi yang tahu. Gadis berhijab bermata bulat ini punya alasan sendiri kenapa ia enggan membagi cerita yang lebih dalam dari kisah di balik puisi-puisinya. Ia juga sangat membebaskan pembacanya mengartikan semua puisi dalam buku itu. “Aku pengin siapapun yang baca itu, biar mereka yang menerjemahkan itu seperti apa,” katanya.
Meski didominasi dengan tulisan bertema melankolis, ada beberapa puisi di buku Dwi yang juga menggelitik. Salah satunya yaitu puisi tentang pulang pagi, yang mungkin juga pernah dialami banyak orang.
Jalan berjinjit-jinjit atau sesekali lewat tumit
Apa saja asal suara langkah menjadi irit
Napas semakin sempit
Bagaimana tidak, ibuku bilang jangan larut tapi sekarang matahari sudah sampai terbit
Puisi ini merekam pengalaman mendebarkan Dwi ketika ia masih duduk di bangku kuliah. Saat itu, ia terpaksa dibantu sang kakak masuk ke rumah lewat jendela, karena pulang sangat terlambat dan hendak pergi lagi mengikuti kegiatan di kampusnya yang masih berlanjut.
“Pokoknya itu udah diatur sedemikian rupa. Aku udah siap mandi, tinggal pergi, terus mamakku buka kamar, dia bilang ‘mau kemana lagi?’,” kata Dwi.
Ada lagi cerita lucu yang dibagikan Dwi kepada HMS malam itu. Yaitu ketika ia dimarahi sang ibu karena kedapatan menyimpan buku 21+ dengan sinopsis vulgar di rak bukunya.
“Kakakku tuh bukunya tes CPNS dan segala macam, sedangkan aku ya novel-novel. Tiba-tiba dia [ibunya] marah ‘disekolahin tinggi-tinggi tapi bacanya malah kayak gitu, buku agama yang dibaca, baca Al-Qur’an’,” kata Dwi menirukan ibunya berbicara, sambil tertawa.
Padahal menurut Dwi, buku itu memiliki pesan moral yang tinggi karena merupakan kisah nyata yang menceritakan berbagai latar belakang orang-orang di sebuah rumah bordil di India.
Kecintaannya terhadap buku dan tulis-menulis memang terbilang sudah lama. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Dwi sudah sering menulis di lembar akhir buku tugasnya. Ia juga pernah mengikuti beberapa lomba, sampai akhirnya sempat berhenti menulis di bangku SMK. “Aktif lagi nulis pas nunggu masuk kuliah,” katanya.
Di bangku kuliah, Dwi mulai rajin mengunggah puisi-puisinya di aplikasi Line. Dari sana ia sering mendapat respon dari teman-teman sekelasnya. Walau kadang bernada mengejek, Dwi mengaku senang, karena orang lain membaca karyanya. “Misalnya pagi aku post, sorenya mereka bacain di depan aku,” kata Dwi.
Dari semua puisi di buku itu, Dwi memilih satu puisi yang menurutnya tetap membuat hatinya bergejolak ketika membacanya kembali.
Kuharap masih kita temukan masa
Duduk di meja yang sama bersama dua gelas kopi yang tak pernah serupa sebab kita adalah sepasang dengan selera berbeda
Kau yang menenangkan, aku yang meredakan, biasanya
Bukan
Kau yang hangat, aku yang dingin, maksudnya.
Menurut Dwi, ia cukup sukses menggambarkan dua sisi dari tokoh yang ia maksud. Dan kembali lagi, entah tokoh itu adalah dirinya sendiri dan seseorang yang spesial, atau orang lain dengan orang lain lainnya, hanya Dwi yang mengetahuinya.
Ketika ditanya terkait pandangan anak kedua dari dua bersaudari ini tentang cinta, Dwi menjawabnya dengan santai. “Buku ini salah satu yang nunjukin kalau aku percaya perasaan aku sama seseorang bisa kadaluarsa,” katanya.
Ia menggambarkan perasaan kadaluarsa itu ibarat makanan yang basi. “Kalau mau dijual juga enggak apa-apa, kalau mau dimakan juga enggak apa-apa. Cuma dampaknya ngga bakal bagus,” katanya.
Cerita Dwi kepada HMS kali itu cukup menjelaskan mengapa Ada yang Kadaluarsa, Kita, dipilihnya menjadi judul buku kumpulan puisi ini.
“Satu buku itu, ceritanya satu orang, tapi dia ketemu sama banyak orang yang beda-beda. Ada yang beda kepercayaan, ada yang belum sempat jadian tiba-tiba kabur, atau segala macam. Cuma sayangnya si tokoh ini udah ngejalanin berbagai situasi, sudah menemukan banyak orang, tapi dia balik lagi ke titik nol. Karena dia enggak sadar kalau sebenarnya dari awal dia itu udah kadaluarsa,” kata Dwi menjelaskan rangkuman bukunya.