BATAM – Dosen Pasca Sarjana Universitas Riau Kepulauan, Parningotan Malau menilai, aturan tentang upah minimum 2023 yang dirilis oleh Kementerian Tenaga Kerja tidak bernilai yuiridis. Artinya, aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 18 tahun 2022 tidak dapat digunakan.
“Menurut pandangan hukum saya, Peraturan Menteri 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimun Tahun 2023 yang dikeluarkan 16 November 2022 ini tidak bernilai Yuridis,” ujarnya, Sabtu (18/11/2022).
Ada tiga alasan pokok yang mendasari pandangan hukum Parningotan. Salah satunya adalah, formulasi perhitungan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK) sudah diatur secara jelas dalam pasal 26 dan pasal 32 PP No 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
Karena sudah diatur dengan jelas, maka tidak ada ketentuan dalam PP 36 tahun 2021 yang memerintahkan untuk menerbitkan Peraturan Menteri sebagai aturan turunan.
“Jadi tidak ada ketentuan mengenai aturan turunan,” jelasnya.
Kondisi tersebut berbeda dengan PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Aturan ini digunakan sebelum PP 36 tahun 2021 terbit.
Pasal 44 ayat 3 PP 78 tahun 2015 menyebutkan, bahwa ketentuan lebih lanjut perhitungan upah minimum dengan menggunakan formula yang ditetapkan aturan tersebut (tercantum dalam pasal 2), diatur dengan menggunakan peraturan menteri.
Lebih rinci disebutkan (pada pasal 48), bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai UMP dan UMK diatur dengan peraturan menteri.
“Itulah sebabnya PP 78 tahun 2015 memerlukan peraturan menteri sebagai turunannya. Sedangkan, PP 36 tahun 2021 tidak memerlukan lagi peraturan menteri tenaga kerja yang mengatur tentang upah minimum,” paparnya.
Selain itu, berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan, Peraturan Pemerintah memiliki posisi yang lebih tinggi dari Peraturan Menteri. Sehingga, Permenaker 18 tahun 2022 tidak bisa menggeser kedudukan PP No 36 tahun 2021 yang sudah menetapkan formulasi UMP dan UMK.
Selain itu, pandangan hukum terkait keluarnya Permenaker 18 tahun 2022 juga harus memperhatikan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-undang Cipta Kerja.
Jika melihat Keputusan MK No 91/ PUU-18/2020, UU Cipta Kerja dinyatakan cacat secara formil. Karena itu MK menetapkan UU Cipta Kerja “Inkonstitusional Bersyarat”.
Pemerintah diberikan waktu 2 tahun. Jika tidak dapat menyelesaikan perbaikan, maka UU, pasal-pasal, atau materi muatan-muatan yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Karena itu MK memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Juga tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu dasar hukum menerbitkan Permenaker 18 tahun 2022 adalah PP 36 tahun 2021, yang merupakan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja.
Jika mengacu pada Putusan MK, maka pemerintah, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja, tidak dapat menerbitkan Permanker tersebut. Karena masalah pengupahan adalah isu strategis.
“PP 36 tahun 2022 sendiri masih menarik didiskusikan nilai yuridisnya,” jelasnya. (*)