JAKARTA – Penolakan terhadap rencana pemerintah naikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen masih terus disuarakan sebagian masyarakat. Mereka mengeluhkan harga barang dan jasa yang bakal naik, jika PPN 12 persen diterapkan pada tahun depan, di tengah situasi daya beli yang menurun.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Mukhamad Misbakhun, menyatakan polemik penolakan kenaikkan pajak ini sudah disampaikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja beberapa waktu lalu.
“Kami sudah ngomong sama pemerintah di ruangan rapat. Banyak pertanyaan dari Komisi XI soal itu. Sudah disampaikan dan Bu Sri Mulyani (sudah diingatkan), kita masih pada situasi seperti itu (daya beli melemah),” katanya seusai menghadiri acara Core Economic Outlook & Beyond 2025 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu, 23 November 2024 dilansir tempo.co.
Ia pun tak memungkiri situasi ekonomi saat ini sedang sulit karena ada penurunan daya beli dan kelas menengah. Hal ini terlihat dari tabungan masyarakat yang menurun. “Kelompok masyarakat dengan rekening Rp3 juta, sekarang mayoritas turun ke Rp1,8 juta.”
Hasil riset Center of Reform on Economics (CORE) juga mengungkapkan, kelompok dengan simpanan di bawah Rp100 juta mendominasi total jumlah rekening di Indonesia yakni 98,8 persen. Jumlah tersebut menunjukkan tren penurunan secara konsisten dari mayoritas Rp3 juta pada 2019 menjadi Rp1,8 juta pada 2023.
Sempat Deflasi
Indonesia juga sempat mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut. Ini menjadi tanda kewaspadaan bahwa kenaikan PPN bakal memunculkan reaksi baru.
Meski begitu, menurut Anggota Fraksi Partai Golkar ini, keputusan final kenaikan tarif pajak berada di tangan pemerintah.
Ia hanya berpesan agar jika PPN tetap naik, maka pemerintah harus menyiapkan insentif, berupa subsidi seperti BBM dan LPG.
Selain itu, wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Timur ini juga mengusulkan, agar pemerintah menambah kategori barang yang tak kena PPN.
Dalam pasal 4a Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, terdapat barang dan jasa yang dikecualikan dari pungutan PPN. Adapun jenis barang tersebut di antaranya kebutuhan pokok, hasil pertambangan yang diambil dari sumbernya dan makanan minuman yang disajikan di hotel. Selain barang, beberapa jasa juga dibebaskan dari pajak pertambahan nilai. Seperti jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan.
Meski kebutuhan pokok tidak masuk dalam daftar objek PPN, namun harganya bisa ikut naik imbas kebijakan ini.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi mengatakan, ada komponen-komponen produksi lain yang terkena pajak. Ia mencontohkan, ongkos logistik kemungkinan akan naik seiring dengan kenaikan tarif PPN. Kenaikan biaya ini akan memengaruhi harga beras.
Direktur Riset Bidang Makroekonomi Core, Akhmad Akbar Susamto mengatakan kenaikan PPN, justru bisa berdampak negatif pada perekonomian secara keseluruhan. Karena volume transaksi barang dan jasa di masyarakat akan berkurang, sehingga menekan konsumsi domestik. “Lebih banyak ruginya dari pada untungnya, lebih baik ditunda dulu,” ujarnya. (*)