JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar dan Universitas Riau, Erdianto Effendi. Keduanya sebagai saksi di persidangan praperadilan atas gugatan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto jadi tersangka, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 11 Februari 2025.
Hasto Kristiyanto menjadi tersangka terkait perkara pergantian antarwaktu calon legislatif Harun Masiku yang kini buron.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar yakin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah memiliki bukti kuat untuk menenatapkan Hasto sebagai tersangka.
Sejak awal Hasto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Desember 2024, Lembaga Antirasuah tersebut sudah memiliki alat bukti yang cukup. Ia percaya para penyidik KPK mampu membuktikannya di persidangan. ”Saya yakin KPK sudah mempunyai minimal dua alat bukti. Karena itu, menetapkan HK sebagai tersangka,” tambahnya menyampaikan kesaksian dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Ia juga mengingatkan, yang saat ini sedang digugat Hasto adalah keabsahan prosedur penetapan tersangka. Meski adu argumen muncul di persidangan sebagaimana terjadi dalam sidang hari ini, Abdul Fickar menyatakan hal itu wajar.
Adu Mulut
Sebelumnya Pengacara Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto dan tim Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) terlibat adu mulut dalam sidang praperadilan tersebut. Perdebatan berkaitan pemeriksaan bukti asli dari kubu KPK.
Berawal saat hakim meminta tim biro hukum KPK mengajukan bukti tambahan. Namun, pihak KPK justru mengajukan perbaikan atas daftar barang bukti yang disampaikan dalam persidangan sebelumnya.
Pengacara Hasto, Ronny Talapessy pun berargumentasi dengan suara keras terhadap Plt. Kepala Tim Biro Hukum KPK Iskandar Marwanto. Keduanya beradu mulut hingga membuat hakim praperadilan menegur mereka.
“Sebentar, sebentar Pak. Tolong ya, perdebatannya dengan pelan-pelan, Pak. Perdebatannya dengan bahasa yang santai saja, tak usah pakai teriak-teriak. Ini live (siaran langsung) Pak, apa yang saudara sikap di sini itu dilihat. Tolong perdebatanya saya ingatkan, suara pelan pun akan kita dengar, tak usah teriak-teriak,” ujar hakim praperadilan Djuyamto.
Sementara itu di luar ruang sidang sejumlah orang beruntung rasa, menuntut KPK menangkap Harun Masiko dan Usut tuntas perkara suapnya.
Patahkan Kejanggalan
Sedangkan ahli hukum pidana dari Universitas Riau, Erdianto Effendi juga mematahkan narasi kejanggalan yang digaungkan kubu Hasto.
Ia menjelaskan bahwa tidak semua penyidikan perkara harus diawali tahap penyelidikan. Sebab, penyelidikan menentukan apakah dalam suatu peristiwa itu terjadi tindak pidana atau bukan.
“Kalau memang suatu tindak pidana sudah jelas, tidak lagi diragukan apa itu tindak pidana atau bukan tindak pidana, jadi tidak ada keharusan bahwa harus dimulai dari penyelidikan dulu lalu kemudian dilanjutkan pada penyidikan,” kata Erdianto.
Dia pun menyatakan, kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) adalah salah satu contoh keadaan tidak diperlukan lagi tahapan penyelidikan dalam sebuah tindak pidana. “Sama juga dengan keadaan kalau sudah tertangkap tangan, kan. Kalau keadaan tertangkap tangan, itu kan sudah terang sebagai sebuah tindak pidana, jadi tidak perlu lagi apakah ada penyelidikan atau tidak,” tambahnya.
Harus Dibatalkan
Sebelumnya, pengacara Hasto Kristiyanto, Todung Mulya Lubis menyatakan penetapan tersangka Hasto oleh KPK tidak sah dan harus dibatalkan. Ia menilai banyak kejanggalan. Salah satunya ialah penetapan tersangka tanpa didahului penyelidikan.
“Banyak sekali kejanggalannya, kami bisa bicara mengenai bagaimana bukti itu diperoleh, bagaimana proses penyidikan itu dilakukan, dan tadi dikatakan kami bacakan bahwa proses penyidikan itu tidak didahului dengan proses penyelidikan,” kata Todung.
Oleh sebab itu, dia menilai penetapan Hasto dilakukan secara tiba-tiba oleh KPK tanpa ada tahap penyelidikan, sehingga Todung meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk membatalkan status tersangka Hasto.
Berdasar jadwal, putusan atas gugatan tersebut bakal dibacakan pada Kamis, 13 Februari 2025. (*)