JAKARTA – Di tengah daya beli masyarakat yang melemah, terutama kelas menengah ke bawah, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja justru menyebut, tren kunjungan ke mal atau pusat perbelanjaan tetap ramai dan terus menunjukkan peningkatan.
“Rata-rata tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan sampai dengan saat ini masih tetap meningkat dibandingkan dengan tahun 2024 lalu, meskipun tidak signifikan. Pertumbuhan tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan sampai dengan Mei 2025 rata-rata adalah sekitar 10%-15% dibandingkan dengan tahun 2024 lalu,” ungkapnya dilansir cnbcindonesia.com. Rabu, 18 Juni 2025.
Dikatakan, daya beli yang melemah tak serta merta membuat mal sepi, melainkan ada penyesuaian gaya konsumsi dari para pengunjung. Masyarakat tetap datang ke mal, tetapi dengan pola belanja yang berbeda.
“Masyarakat kelas menengah bawah cenderung membeli barang ataupun produk yang harga satuannya (unit price) rendah atau kecil,” jelas Alphonzus Widjaja menepis opini mal sepi.
Dengan kata lain, yang berubah bukan frekuensi kunjungan, melainkan jenis dan nilai transaksi. Konsumen menjadi semakin selektif, mengincar produk dengan harga terjangkau, meski tetap mencari suasana belanja yang menyenangkan.
Fungsi Mal
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa fungsi mal kini tak lagi sekadar tempat bertransaksi. Banyak pengunjung datang untuk menghabiskan waktu, bersosialisasi, atau sekadar menikmati atmosfer. Inilah yang membuat tingkat kunjungan tetap stabil, bahkan bertumbuh.
Alphonzus menyebut, transformasi pusat perbelanjaan pun menjadi kunci. Mereka yang mampu menawarkan pengalaman menyeluruh, mulai dari keberagaman penyewa lapak (tenant mix) yang sesuai, ruang interaksi sosial, hingga konsep bangunan yang nyaman, cenderung lebih sukses menarik pengunjung.
“Pusat perbelanjaan harus dapat memiliki dan menyediakan tempat, ataupun fasilitas untuk pelanggan melakukan interaksi sosial dengan sesamanya, sehingga fungsi Pusat Perbelanjaan bukan lagi hanya sekedar sebagai tempat belanja,” terang dia.
“Pusat perbelanjaan harus dapat menyediakan ataupun memberikan journey atau experience kepada para pelanggannya, bukan lagi hanya sekedar menyediakan ataupun memberikan fungsi belanja saja. Customer experience ataupun customer journey dapat diciptakan dari konsep gedung dan juga tenant mix,” sambungnya.
Tren ini pun direspons pengelola mal dengan berbagai strategi adaptif, termasuk rebranding, renovasi besar-besaran, hingga penyesuaian dengan karakter lokal masyarakat. Salah satu contoh nyatanya bisa dilihat di Gajah Mada Plaza, mal bersejarah di kawasan Pecinan, Jakarta Pusat, yang kini tampil lebih segar dan modern. (*)