BATAM – Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kepri bersama Polres Tanjungpinang berhasil mengungkap jaringan mafia tanah yang beroperasi di Kota Batam, Tanjungpinang, dan Kabupaten Bintan. Sindikat ini diketahui menjual lahan secara ilegal dengan menerbitkan sertifikat palsu.
Modus kejahatan sindikat ini dimulai dari pengakuan sepihak atas kepemilikan lahan kosong yang dianggap strategis. Setelah itu, mereka memproses penerbitan sertifikat analog maupun elektronik palsu lengkap dengan cap dan kode batang (barcode) yang menyerupai milik resmi Kementerian ATR/BPN.
Kapolda Kepri, Irjen Pol Asep Safrudin mengungkapkan bahwa tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka, enam pria berinisial ES, RAZ, MR, ZA, KS, dan AY serta satu perempuan berinisial LL. Otak sindikat berinisial ES bahkan mengaku sebagai pejabat Kementerian ATR/BPN untuk meyakinkan calon korban.
“ES mengaku sebagai Kabid Satgas Mafia Tanah dari Kementerian untuk mendapatkan kepercayaan. Ia juga memanfaatkan LSM bernama LPKPK sebagai alat untuk mengklaim lahan kosong,” jelas Irjen Asep saat konferensi pers, Kamis, 3 Juni 2025.
ES menggunakan dua skema. Pertama, melalui LSM ia mencari lahan kosong dan menandainya dengan papan pengakuan hak. Jika tidak ada pihak yang menggugat, lahan tersebut dijual. Kemudian, sindikat mencetak seluruh dokumen sertifikat palsu.
Pengungkapan kasus ini bermula dari laporan seorang warga pada Februari 2025 di Polresta Tanjungpinang. Saat hendak mengganti sertifikat analog menjadi versi elektronik di Kantor Pertanahan Tanjungpinang, korban menyadari sertifikatnya palsu.
Direktur Reskrimum Polda Kepri, Kombes Pol Ade Mulyana menambahkan bahwa dari hasil penyelidikan, aparat menyita 44 sertifikat palsu, beberapa dokumen BP Batam yang diduga dipalsukan, gambar lahan, faktur tagihan UWT, dan dokumen lain dengan cap BP Batam.
Sebelum menipu korban, sindikat memasarkan lahan di media sosial. ES akan bertemu calon pembeli dan menyamar sebagai pejabat ATR/BPN. Ia menawarkan pengurusan sertifikat tanpa dasar hukum dengan biaya yang relatif murah, hanya sekitar Rp30 juta per sertifikat untuk wilayah Tanjungpinang dan Bintan.
Di Batam, sindikat meminta pembayaran berdasarkan nilai UWT BP Batam dan luas lahan. Untuk meyakinkan korban, komplotan ini bahkan melakukan simulasi pengukuran lahan dengan mengenakan seragam petugas dan menggunakan aplikasi pengukuran digital.
Setelah proses pengukuran, data lokasi dikirim ke RAZ di Jakarta. Ia bertugas membuat desain sertifikat menggunakan perangkat lunak grafis, lalu mencetaknya di kertas khusus dengan tinta UV dan menjahitnya dengan benang nilon. Ia juga menciptakan situs palsu SentuhTanahku.co.id yang menyerupai situs resmi pemerintah, untuk mengecoh korban agar percaya barcode sertifikat bisa diverifikasi secara daring.
Sindikat ini beroperasi sejak 2023 dan telah menipu 247 orang. Meski demikian, baru 44 sertifikat yang berhasil mereka terbitkan. Barang bukti yang disita termasuk 10 sertifikat elektronik palsu untuk Batam, 17 SHM analog untuk Tanjungpinang, 3 SHM elektronik dan 14 SHM analog untuk Bintan, serta puluhan dokumen permohonan dan fotokopi KTP.
Para tersangka dijerat dengan pasal 263 ayat 1 dan 2 jo pasal 55 ayat 1 jo pasal 56 KUHP serta pasal 64 ayat 1 KUHP, dengan ancaman hukuman hingga enam tahun penjara. Total kerugian akibat sindikat ini ditaksir mencapai Rp16 miliar.



