BATAM – Nama Amsakar Achmad kini menjadi sorotan tajam di Kota Batam. Ia memegang dua jabatan strategis sekaligus: Wali Kota Batam dan Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam. Posisi ini menempatkannya dalam dilema berat, karena di satu sisi ia harus menjaga hak dan kepentingan warga, sementara di sisi lain ia didorong untuk mempercepat laju investasi demi menjaga geliat ekonomi dan daya saing Batam sebagai pusat industri dan perdagangan internasional.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batam, pertumbuhan ekonomi kota pada 2024 mencapai 6,69 persen, jauh di atas rata-rata nasional yang berkisar 5 persen. Selain itu, realisasi investasi yang masuk ke Batam sepanjang 2024 mencapai Rp43,26 triliun, melonjak 31 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Data ini dikonfirmasi oleh BP Batam dan sejumlah media nasional seperti Tempo dan ANTARA.
Namun, di balik capaian tersebut, persoalan sosial mengemuka, khususnya terkait proyek besar Rempang Eco-City. Proyek yang dicanangkan untuk mengembangkan kawasan industri, pariwisata, dan energi baru terbarukan ini memicu penolakan keras dari sekitar 3.500 kepala keluarga (KK) warga Rempang yang khawatir kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, serta warisan budaya yang sudah melekat puluhan tahun. Penolakan ini tak hanya muncul dari warga biasa, tapi juga didukung oleh sejumlah lembaga lingkungan dan hak asasi manusia, termasuk WALHI Kepulauan Riau.
Tak jauh berbeda, warga rumah liar (Ruli) yang jumlahnya diperkirakan mencapai 8.000 KK juga menghadapi ancaman serupa. Mereka yang telah lama tinggal di lahan yang kini masuk dalam peta pengembangan kawasan industri dan proyek strategis nasional ini mengalami ketidakpastian besar. Banyak dari mereka juga menjadi pendukung dan pemilih setia Amsakar dan pasangannya Li Claudia Chandra dalam Pilkada Batam 2020 dan 2025.
“Saya sudah tinggal di sini lebih dari 20 tahun, membayar retribusi, ikut pemilu, tapi sekarang kami diusir tanpa kepastian. Kami minta kejelasan, apakah kami akan mendapatkan kompensasi atau relokasi yang layak,” kata Sari, warga Ruli Kelurahan Sungai Panas.
Dalam upaya mendukung percepatan investasi, pada Juni 2025, BP Batam di bawah pimpinan Amsakar menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Investasi. MoU tersebut mengatur percepatan perizinan, pengawasan, dan integrasi data agar investasi dapat berjalan lebih lancar dan cepat. Namun, langkah ini mendapat sorotan karena belum jelas bagaimana mekanisme perlindungan bagi warga terdampak.
Amsakar Achmad menapaki karier politik setelah sebelumnya berprofesi sebagai birokrat di Pemerintah Kota Batam. Ia terpilih sebagai Wakil Wali Kota Batam periode 2016–2021 mendampingi Muhammad Rudi. Setelah Rudi menyelesaikan dua periode sebagai Wali Kota Batam dan maju sebagai calon Gubernur Kepulauan Riau pada Pilgub 2024 meskipun kalah Amsakar naik menjadi Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam.
Selama menjabat, Amsakar mendorong pembangunan infrastruktur masif, seperti pelebaran jalan utama, pembangunan flyover, hingga revitalisasi kawasan perdagangan. Namun, sejumlah kebijakan terkait penertiban kawasan Ruli dan relokasi warga terdampak proyek strategis mendapat kritik tajam, karena dianggap berjalan tanpa proses musyawarah yang memadai dan tanpa memberikan jaminan kompensasi yang jelas.
Hingga saat ini, wartawan media ini telah berupaya menghubungi Amsakar melalui pesan WhatsApp untuk mendapatkan penjelasan terkait bagaimana ia mengelola dua peran besar sekaligus dan menyeimbangkan investasi dengan perlindungan warga, namun belum mendapat tanggapan resmi.
Berbagai kalangan menilai transparansi dan pelibatan warga harus menjadi prioritas utama dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan proyek pembangunan. Warga Batam tidak menolak kemajuan, tetapi mereka menuntut keadilan, kepastian hukum, dan kesejahteraan yang merata, bukan sekadar keuntungan bagi para investor.
Kini, harapan warga Batam tertuju pada Amsakar Achmad. Mampukah dia menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana, yang dapat menjadi jembatan kuat antara kepentingan modal besar dan hak-hak masyarakatnya? Ataukah dua jabatan yang diembannya justru akan menjadi beban berat yang menambah kompleksitas persoalan sosial dan ekonomi di Kota Batam yang terus berkembang?



