SAMOSIR – Sore itu, Sabtu, 13 September 2025, langit Pangururan sedikit muram. Awan tipis menggantung di atas Danau Toba, membuat suasana Waterfront Pangururan terasa syahdu. Dari tepi foodcourt, aroma kopi hitam panas menyeruak, berpadu dengan hembusan angin dan riak kecil air danau.
Mendung memang sempat menghalangi cahaya matahari sore, namun tidak menyurutkan langkah wisatawan. Keluarga, anak muda, hingga orang tua tampak menikmati sore dengan berolahraga, berswafoto di spot ikonik, atau sekadar duduk santai menatap danau. Di malam hari, daya tarik utama waterfront pertunjukan “air menari” menjadi alasan lain mengapa pengunjung tetap ramai meski cuaca tidak menentu.
Esoknya, Minggu, 14 September, suasana berbeda hadir. Matahari pagi perlahan terbit dari ufuk timur, memantulkan cahaya keemasan di permukaan danau. Dalam dua hari peliputan, HMS merasakan kontras suasana yang justru memperlihatkan kekayaan panorama waterfront: teduh di kala mendung, hangat di kala pagi.
Lebih dari Sekadar Wisata
Waterfront Pangururan bukan hanya ruang rekreasi, tetapi juga denyut ekonomi kerakyatan. Kehadiran pedagang kuliner, penyedia jasa sepeda listrik, hingga pelaku usaha kecil menjadi bukti nyata bahwa pariwisata mampu memberi dampak langsung pada masyarakat.
Namun, di balik geliat ekonomi itu, ada tantangan besar dalam tata kelola. HMS menemukan beberapa persoalan:
• Rumput hijau yang dulunya segar kini berubah menjadi tanah gersang.
• Lebih dari 20 papan jogging track sudah terlepas.
• Instalasi listrik tampak berantakan dan berbahaya.

Pemandangan ini seakan kontras dengan kemegahan saat waterfront pertama kali diresmikan.

Suara dari Garda Terdepan
Di sudut area, HMS bertemu Boru Simarmata dan Boru Pandiangan dua petugas kebersihan yang sudah bertahun-tahun mengabdi. Boru Simarmata, yang bertugas sejak 2013, tersenyum kecil ketika ditanya apa tugas terberatnya.

“Bukan hanya menyapu, kami juga harus mengingatkan pengunjung supaya tidak sembarangan buang sampah. Tapi, ya… tidak semua mau mendengar,” katanya.
Boru Pandiangan menambahkan, enam orang petugas kebersihan ditugaskan di waterfront, semuanya berada di bawah Dinas Pariwisata Samosir. Ia mengungkapkan, dalam waktu dekat akan diterapkan SOP larangan membuang sampah sembarangan. “Harapannya, kesadaran pengunjung bisa lebih baik,” ujarnya.

Suara dari Pelaku Usaha
Tak jauh dari jogging track, Cristianto Sinaga sibuk menata sepeda listriknya. Ia sudah menekuni usaha ini sejak waterfront dibuka.
“Kalau hari biasa, dapatnya Rp100 ribu sampai Rp150 ribu. Tapi kalau akhir pekan atau hari besar bisa Rp500 ribu,” ujarnya.
Namun, ada satu hal yang ia keluhkan: anjing peliharaan warga. “Banyak anjing yang buang kotoran sembarangan di jogging track. Bau sekali, mengganggu pengunjung,” katanya sambil geleng kepala.
Cristianto berharap pemerintah lebih serius menertibkan hewan peliharaan agar kenyamanan wisatawan tetap terjaga. Ia juga mengaku membayar sewa lapak Rp600 ribu per bulan, dengan titik usahanya ditandai cat biru.
Minim Perawatan, Minim Pengawasan
HMS juga menemukan kerusakan di berbagai sudut. Papan informasi dipenuhi coretan, hingga tulisan nyaris tak terbaca. Bahkan, di ujung Jembatan Tano Ponggol, papan rusak parah hanya menyisakan huruf “O”.

Jika dibiarkan, kerusakan ini bisa membuat Waterfront Pangururan kehilangan pesonanya. Perlu langkah nyata dari pemerintah untuk memperbaiki fasilitas sekaligus mencegah tangan-tangan tak bertanggung jawab merusaknya lebih jauh.
Infrastruktur dan Anggaran
Di Jembatan Tano Ponggol, lampu hias bergelantungan seolah tanpa perawatan. Ketika ditanya, Rizky, seorang pekerja kontraktor menjelaskan bahwa tugasnya hanya mengecat pembatas jembatan. “Habis ini saya balik ke Kalimantan,” katanya singkat.
Temuan-temuan kecil ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah anggaran perawatan dari pemerintah pusat yang disalurkan ke Pemkab Samosir benar-benar digunakan sebagaimana mestinya?
Menjaga Capaian Besar
Waterfront Pangururan kini menjadi ikon baru pariwisata Samosir. Tetapi, ikon hanya akan bertahan jika semua pihak turut menjaganya: pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, hingga pengunjung.
Seperti pepatah, mudah membangun, sulit merawat. Waterfront Pangururan adalah capaian besar yang harus dipertahankan agar tidak hanya jadi kenangan, tetapi warisan indah bagi generasi mendatang.