JAKARTA – Pengamat hukum pidana dari Universitas Bung Karno, Jakarta, Hudi Yusuf, mengelus dada atas keterlibatan sejumlah oknum jaksa dalam rangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sejumlah daerah.
Ia menilai kasus-kasus tersebut kembali membuka persoalan serius soal integritas aparat penegak hukum.
Hudi mengaku sangat prihatin melihat masih kuatnya orientasi sebagian aparat penegak hukum (APH) untuk mencari keuntungan materi.
Menurutnya, praktik tersebut mencerminkan kemerosotan integritas sekaligus melukai rasa keadilan publik, karena kewenangan yang diemban justru disalahgunakan untuk melanggar hukum.
“Jika ingin kaya jangan jadi APH karena hal itu tidak mungkin dapat terjadi, kejadian ini membuat miris hati rakyat karena orang yang diberi amanah menegakan hukum malah melakukan perbuatan melawan hukum,” kata Hudi ketika dihubungi Inilah.com, Minggu, 21 Desember 2025.
Perkuat Pengawasan
Menurut Hudi, maraknya OTT yang menyeret aparat penegak hukum, khususnya jaksa, harus dijadikan momentum untuk memperkuat pengawasan internal sekaligus memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Ia menilai, pendidikan antikorupsi dan pembinaan mental perlu ditanamkan sejak awal kepada calon APH agar profesi penegak hukum tidak dipandang sebagai sarana memperkaya diri.
“Pendidikan antikorupsi harus ditanamkan sejak dini kepada anak-anak yang ingin menjadi aparat penegak hukum (APH) agar di dalam pikirannya tidak ada keinginan untuk menjadi kaya raya, melainkan bekerja sesuai aturan yang telah ditetapkan serta membina mental mereka menjadi APH yang tidak dapat disuap,” ucap Hudi.
KPK menggelar OTT sejak Rabu, 17 Desember 2025 di sejumlah wilayah, yakni Banten; Kabupaten Bekasi, Jawa Barat; serta Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Untuk perkara di Banten, KPK melimpahkan penanganan kasus tersebut kepada Kejaksaan Agung. Pelimpahan dilakukan karena Kejaksaan Agung lebih dahulu menaikkan status perkara ke tahap penyidikan, sementara KPK masih menjalankan rangkaian OTT atau penyelidikan tertutup.
Peras WNA
Dalam perkara Banten, Kejaksaan Agung telah menetapkan lima tersangka dugaan pemerasan terhadap warga negara asing (WNA) asal Korea Selatan.
Mereka adalah Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Tangerang, Herdian Malda Ksastria; Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Banten, Rivaldo Valini; Kepala Subbagian Daskrimti Kejaksaan Tinggi Banten, Redy Zulkarnaen; pengacara Didik Feriyanto, serta penerjemah atau ahli bahasa Maria Siska.
Dugaan pemerasan tersebut berkaitan dengan penanganan perkara tindak pidana informasi dan transaksi elektronik (ITE) yang tengah berproses di Pengadilan Negeri Tangerang, dengan terdakwa warga negara Korea Selatan dan warga negara Indonesia.
Para korban diduga diancam akan dituntut dengan hukuman berat, serta dilakukan penahanan apabila tidak menyerahkan sejumlah uang.
Dari OTT yang dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, nilai awal pemerasan terungkap mencapai Rp941 juta.
Kabupaten HSU
Sementara itu, penyidikan perkara OTT di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), masih ditangani langsung oleh KPK. Dalam perkara ini, KPK menetapkan tiga tersangka, yakni Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara Tri Taruna Fariadi, Kepala Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara Albertinus Parlinggoman Napitupulu, dan Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara Asis Budianto.
Tri Taruna Fariadi diketahui melarikan diri saat OTT dan hingga kini belum ditahan.
Sementara itu, Albertinus Parlinggoman Napitupulu dan Asis Budianto telah ditahan oleh KPK.
Kasus tersebut merupakan tindak pidana korupsi berupa pemerasan terhadap sejumlah perangkat daerah di Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Modus yang digunakan adalah meminta sejumlah uang agar laporan pengaduan masyarakat dari lembaga swadaya masyarakat yang masuk ke kejaksaan tidak ditindaklanjuti ke proses hukum.
Albertinus Parlinggoman Napitupulu diduga mengendalikan praktik pemerasan tersebut, sementara Asis Budianto dan Tri Taruna Fariadi berperan sebagai perantara penerimaan dan penyaluran uang.
Total aliran dana yang terungkap dalam perkara Hulu Sungai Utara mencapai sekitar Rp2,64 miliar.
Rinciannya, Albertinus Parlinggoman Napitupulu diduga menerima sekurang-kurangnya Rp1,51 miliar; Asis Budianto sekitar Rp63,2 juta, dan Tri Taruna Fariadi sekitar Rp1,07 miliar dari berbagai pihak.
KPK juga menelusuri dugaan keterlibatan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Eddy Sumarman dalam pusaran perkara korupsi yang menjerat Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang. Namun hingga kini, KPK menyatakan belum memiliki alat bukti yang cukup untuk menetapkan Eddy Sumarman sebagai tersangka setelah menggelar ekspose perkara. (*)



