JAKARTA – Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, tidak mendukung pemberian hukuman kerja sosial bagi terpidana korupsi yang divonis di bawah lima tahun.
Ditegaskan, koruptor sudah selayaknya dihukum penjara serta didenda mengembalikan kerugian negara akibat perbuatannya.
Pernyataan ini menanggapi berlakunya hukuman kerja sosial yang akan diberlakukan pada 2 Januari 2026, mengacu dari revisi UU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
“Koruptor itu jangan dihukum kerja sosial, keenakan dia. Hukum penjara saja, dia berusaha bayar supaya tidak dihukum.”
“Tidak pernah ada koruptor dihukum kerja sosial. Yang ada dihukum ganti rugi mengembalikan kerugian negara di samping (dihukum) penjara,” kata pakar pidana ini dikutip Tribunnews.com, yang tayang Selasa, 30 Desember 2025.
Di sisi lain, Abdul Fickar turut mengingatkan pemerintah dan penegak hukum yang akan memiliki tugas baru yakni mengawasi terpidana yang disanksi kerja sosial, demi memastikan tidak kabur.
“Jadi memang perlu kesiapan semua pihak dalam pelaksanaan KUHP baru ini agar di satu sisi kepastian hukum tercapai dan rasa keadilan pun dapat dijalankan dengan baik,” katanya.
Efek Jera
Ketika ditanya apakah sanksi kerja sosial akan memberikan efek jera, ia menilai hal tersebut hanya berlaku bagi orang yang baru pertama kali melakukan tindak pidana. Sehingga efek jera tidak bakal dirasakan oleh seorang residivis.
“Soal efek jera tergantung pada manusianya. Jika pelaku kejahatan itu baru pertama kali melakukan kejahatan, mungkin akan menjerakan karena hukuman kerja sosial itu bisa disaksikan orang banyak.”
“Tetapi jika pelaku itu sudah residivis, rasanya tidak akan berefek apa-apa,” tegasnya.
Akibat Lalai
Secara teknis, dia juga menganggap penerapan hukuman kerja sosial lebih cocok bagi orang yang melanggar hukum akibat kelalaian alih-alih dengan sengaja melakukan tindak pidana.
“Sekarang ini pelaku kejahatan kebanyakan residivis. Menurut saya hukuman kerja sosial itu lebih cocok dijatuhkan terhadap mereka yang dihukum karena kelalaian seperti pelanggaran lalu lintas.”
“Bukan pada mereka yang sengaja melakukan kejahatan,” ujar Abdul Fickar.
Sebelumnya, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto, menyampaikan penerapan hukuman pidana berupa kerja sosial bakal dimulai setelah berlakunya KUHP dan KUHAP pada 2 Januari 2026 mendatang.
“Tahun depan (berlakunya penerapan hukuman kerja sosial). Nanti kita tunggu berlakunya KUHP baru, 2 Januari 2026,” katanya di Kantor Kementerian Imipas, Jakarta, Senin, 29 Desember 2025.
Agus menuturkan pihaknya sudah berkoordinasi dengan kepala lembaga pemasyarakatan (Kalapas) dan kepala rumah tahanan (Karutan) terkait penerapan hukuman tersebut.
Dia menambahkan bentuk kerja sosial yang akan diterapkan terhadap terpidana berdasarkan kebijakan di daerah.
“Nanti hasil koordinasi para Kalapas, Karutan dengan pemerintah daerah ini sudah membuat beberapa alternatif tempat dan jenis pekerjaan yang dikerjakan,” katanya.
Di sisi lain, hukuman pidana kerja sosial ini tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang disahkan pada 2 Januari 2023 lalu.
Sementara berlakunya UU tersebut mulai 2 Januari 2026.
Adapun hukuman tersebut dijatuhkan terutama kepada orang yang melakukan tindak pidana ringan (tipiring).
Berdasarkan Pasal 85 ayat 1 UU KUHP, sanksi kerja sosial diterapkan kepada terpidana yang terancam hukuman penjara kurang dari lima tahun dan hakim menjatuhkan vonis pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak kategori II sebesar Rp10 juta. (*)



